Sixth Bloom

3.3K 372 62
                                    

Another penggalan ~ hihi

Sudah ikut Special Order belum?

Intip dulu sedikit sini

[La Fleur]

Hoseok duduk bersama Seokjin di ruang keluarga. Di hadapan mereka sudah hadir seorang pengacara, yang akan membacakan surat wasiat dan mengumumkan harta warisan peninggalan Nenek Jimin. Seokjin turut hadir karena nenek Jimin sempat berpesan untuk menjadi penengah jika Hoseok ataupun Sunghee tidak bisa didudukkan secara damai.

"Dimulai saja, Pengacara Han." Ujar Hoseok. Sang pengacara tersenyum.

"Semua anggota keluarga harus hadir, Tuan. Termasuk Nyonya Park dan anak Anda."

"Jimin akan segera turun. Tidak usah menunggu Sunghee. Dia tidak akan datang. Lagipula, Sunghee sudah bercerai denganku. Dia bukan bagian dari keluarga ini lagi."

"Tapi di dalam surat wasiat Nyonya Injoo, Nyonya Park Sunghee termasuk ke dalam daftar anggota keluarga, Tuan. Maka dari itu, kita tetap harus menunggu Nyonya Park sebelum saya membacakan pesan dari Nyonya Injoo."

Hoseok berdecak kesal. Sudah hampir dua jam menunggu, namun Sunghee masih saja tidak datang. Padahal Hyebin sudah memberitahunya sejak jauh-jauh hari. Sengaja begitu agar Sunghee tidak punya alasan sibuk atau lainnya. Ia harus menyediakan waktu untuk urusan penting ini. Namun hari ini, ia malah tidak muncul-muncul. Hoseok jadi dongkol. Terbersit umpatan dalam hatinya, mengapa ibunya malah melibatkan Sunghee dalam wasiat dan warisan keluarga Jung.

Tak lama, bel rumah berbunyi. Membuat Hyebin bergegas membukakan pintu untuk Sunghee yang berjalan dengan santai. Tanpa dipersilakan, ia mengambil posisi di samping Seokjin yang membuat Seokjin kini menjadi pembatas antara Hoseok dan Sunghee.

Wajah Hoseok tertekuk setiap kali melihat mantan istrinya itu. Ia ingin saja memaki, namun dirinya tidak ingin menyia-nyiakan tenaga dan suaranya untuk berdebat dengan Sunghee.

"Maafkan aku, Tuan-tuan. Perjalanan dari Busan kesini memakan waktu cukup lama."

"Busan? Memangnya ada apa di Busan?" tanya Seokjin berbasa-basi.

"Mengurus persiapan pernikahanku, Dokter. Kami akan menikah disana." Jawab Sunghee dengan bangga.

Seokjin mengangguk kikuk. Ada perasaan menyesal dalam hati karena sudah bertanya. Ia melirik pada Hoseok yang wajahnya tampak muram.

"Hyebin-ah, bisa kau jemput Jimin di kamar?" Hyebin mengangguk dan segera melaksanakan perintah Hoseok.

"Mari, Pengacara Han. Kita mulai saja. Akan makan lebih banyak waktu lagi kalau kita menunggu Jimin. Hyebin butuh waktu yang tidak sedikit untuk membujuknya turun."

Pengacara Han mengangguk setuju. Ia mulai membuka folder yang sedari tadi ia pegang. Mulai membacakan pembagian warisan.

"Semua saham dan kepemilikan usaha restoran Nyonya Injoo akan diserahkan kepada Jung Jimin, cucu semata wayangnya. Dikarenakan Tuan Jung Jimin belum bisa sepenuhnya memegang kendali, maka pengendalian usaha akan diserahkan pada Nona Jang Hyebin." 
Hoseok sudah mengira bahwa sang ibu akan menurunkan semua hartanya pada cucu laki-lakinya.

Sunghee pun hanya bergeming. Sangat paham bahwa mertuanya tentu tidak akan meninggalkan harta yang sedikit untuk cucunya. Hanya saja mereka sedikit terkejut karena Injoo memberikan wewenang pengendalian pada Hyebin. Sekretaris pribadinya. Bukan pada anaknya, Hoseok. Namun, Hoseok tidak ingin terlalu ambil pusing. Keputusan yang ibunya ambil mungkin sudah melalui pertimbangan matang. Pesan sang ibu sudah tertulis dan mutlak harus dilaksanakan. Hoseok tentu akan menghormati semua keputusan sang ibu.

Selesai membacakan tentang warisan, Pengacara Han melanjutkan pembacaan surat wasiat. Surat wasiat yang ditulis di dua halaman kertas itu dibacakan. Semua yang ada diruangan itu mendengarkan dengan seksama. Tidak ada yang protes hingga Pengacara Han membacakan bait surat terakhir.

"Jung Hoseok dan Park Sunghee. Bersatulah. Jaga anak kalian dengan baik. Rawatlah Jimin dengan penuh kasih sayang. Tinggallah bersamanya dan buatlah dia bahagia. Jangan terpisah lagi. Jangan membuat diri kalian menyesal jika suatu saat perpisahan kalian membuat jiwa dan raga Jimin juga terpisah."

Kalimat terakhir menohok Hoseok maupun Sunghee. Seokjin pun ikut tersentak. Ia menoleh bergantian pada Sunghee dan Hoseok yang kini terdiam.

"Saya sudah membacakan semua yang perlu disampaikan. Semuanya sudah ditandatangani oleh mendiang Nyonya Injoo dan sah secara hukum. Untuk wasiat, saya sudah membacakannya tanpa ada penambahan atau pengurangan." Pengacara Han memasukkan kembali kertas-kertas  ke dalam folder.

"Eum... Maaf. Tentang wasiat itu, apakah ibu mertuaku menyampaikan lebih jelas tentang penjelasan terakhir?"

"Tidak, Nyonya. Nyonya Injoo hanya meminta saya menuliskan apa yang beliau sampaikan dan isi surat itu sesuai dengan yang Nyonya Injoo katakan."
Sunghee mengangguk. Masih belum puas dengan pembacaan surat itu.

"Dari yang aku pahami, Bibi Injoo ingin mengatakan bahwa kalian harus rujuk. Demi Jimin."

Sunghee menatap Seokjin. "Itu tidak mungkin, Dokter. Aku akan segera menikah. Mana mungkin aku bisa rujuk dengannya. Lagipula sudah tidak ada lagi alasan kami untuk bersama. Kami sudah berpisah. Begitu pula hati kami." Sunghee melirik sinis pada Hoseok yang dibalas dengan kesinisan pula.

"Tidak ada pula yang ingin kembali hidup denganmu. Aku tidak sudi membiarkanmu masuk ke dalam kehidupanku lagi."

Sunghee merasa tidak terima dengan sahutan Hoseok dan bersiap untuk membalas. Namun Seokjin dengan cepat menghentikan. "Sudah! Aku tahu ini bukan urusanku sepenuhnya, tapi karena aku berada di antara kalian maka aku berhak untuk meminta kalian berhenti."

Sunghee mendengus kesal. Sementara Hoseok memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Kenapa kalian harus bertengkar di setiap kesempatan? Tidak bisakah kalian membicarakannya dengan kepala dingin? Kalian seharusnya mencari solusi. Bukan saling menyalahkan. Kalian hanya memikirkan perasaan kalian sendiri. Bagaimana dengan Jimin? Apa kalian sudah bertanya padanya? Sekadar bertanya apakah Jimin baik-baik saja. Apakah dia bahagia. Apakah dia rela ibunya menikah lagi. Apa yang Jimin inginkan dari ayahnya. Apa kalian sudah menanyakan hal itu? Cobalah pikirkan!" Nada Seokjin sangat tegas. Terdengar jelas kekesalan Seokjin, namun Seokjin tidak terlalu menggebu-gebu dalam menyampaikan.

"Saat ini kita semua pasti terpukul dengan kepergian Bibi Injoo. Tapi yang paling terpukul disini adalah Jimin. Dia hanya seorang remaja yang masih butuh kasih sayang. Hanya Bibi Injoo yang bisa memberikannya. Tapi sekarang setelah Bibi Injoo tidak ada, dia bisa berharap pada siapa lagi? Kalian berdua?" Seokjin tertawa remeh. "Lihat saja diri kalian. Sibuk bergumul dengan urusan hati kalian saja."

Seokjin mengeluarkan semua yang ingin ia sampaikan. Selama ini, dirinya hanya bisa mendengarkan keluhan nenek Jimin setiap kali Seokjin memeriksa kesehatan nenek Jimin. Ia hanya bisa menjadi pendengar yang baik. Tidak jarang, ketika ia kebetulan dipertemukan dengan Hoseok dan Sunghee di satu tempat, telinganya harus bertahan mendengarkan argumen tiada akhir dari keduanya.

PRANG

Terdengar suara pecahan sesuatu dari atas. Hoseok sontak berdiri dan langsung berlari menaiki tangga. Hampir sampai di atas, ia berpapasan dengan Hyebin yang tampak panik.

"Pintu kamar Tuan Muda terkunci! Suara pecahan tadi berasal dari kamarnya, Tuan." 

[....]

[....]

[....]

[La Fleur]

Join the Special Order already. Supaya bisa tau apa yang terjadi sama Tuan Muda

heheh

Love you

1 Juni 2020

(06.39 pm)

[BOOK] La FleurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang