Thirteenth Bloom

2.2K 266 46
                                    

Another penggalan~

[La Fleur]

“Tidak ada jadwal? Sunghee sedang liburan?”

Hyemi mengangguk menanggapi pertanyaan Namjoon yang kini berdiri di depannya.

“Kurasa ia berlibur bersama anaknya.”

“Apakah dengan mantan suaminya juga?”

Hyemi mengangkat bahu. “Aku kurang tahu akan hal itu, Tuan Kim. Mungkin kau bisa menghubungi Sunghee-nim. Kurasa dia masih mengaktifkan ponselnya. Ada lagi yang ingin kau tanyakan, Tuan? Aku masih harus kembali ke rumah untuk mengambil sesuatu. Lalu, aku harus kembali lagi kesini untuk-"

“Baiklah. Aku mengerti. Maaf mengganggumu. Aku akan pergi sekarang.” Namjoon mengangguk ringan memberi salam pada Hyemi yang masih berdiri di lobby kantor agensi.

Namjoon masuk ke dalam mobilnya dengan perasaan kecewa. Sedikit kecewa karena usahanya menghampiri Sunghee ke kantor agensi sia-sia.

Namjoon menggenggam setirnya dalam diam. Ia menoleh pada amplop putih besar yang tadinya hendak ia jadikan kejutan untuk Sunghee. Namun apa daya. Kejutan itu hanya angan-angan.

Namjoon menghembuskan napasnya pelan. “Aku kalah cepat.” Gerutunya.

Tiga tiket pesawat dengan tujuan Singapura sudah ia siapkan untuk memulai usahanya menarik perhatian Jimin. Ia berencana untuk mengajak Sunghee dan Jimin liburan bersama. Mencari momen untuk mendekatkan diri dengan calon anaknya. Namun, Namjoon hanya terlambat sedikit.

Namjoon kembali menatap ke depan. Mantap dengan tujuannya untuk melajukan mobil mewah itu. Dalam hati, ia terus menggumamkan sebuah mantera, “Aku akan memenangkan ini, Jimin-ah.”

### 

Pesawat yang keluarga Jung tumpangi akhirnya mendarat dengan selamat di Bandara Narita, Jepang. Mereka menaiki mobil yang sudah Hoseok siapkan untuk memperlancar perjalanan mereka sepanjang liburan.
Keinginan Jimin untuk bermain di Disneyland terkabul. Sunghee dan Hoseok tidak menyesal sama sekali meluangkan waktu mereka untuk melihat anak emas mereka itu tertawa.

Setelah sekian lama, akhirnya kedua orang itu merasakan nikmatnya menjadi orang tua. Tidak masalah meskipun Jimin kini sudah berusia tujuh belas tahun. Karena di mata mereka, Jimin tetap bayi kecil yang melengkapi kehidupan mereka.

“Ayolah, Bu… Aku ingin naik itu.” Rengek Jimin sambil menunjuk ke arah salah satu wahana, Alice’s Tea Party.

“Jimin saja ya? Ibu tidak tahan kalau berputar-putar seperti itu. Bisa-bisa Ibu muntah disana.”

Jimin merengut sambil beralih pada sang ayah yang langsung menggeleng. Tentu saja Hoseok tidak bisa naik wahana seperti itu. Rasa malunya lebih besar dibandingkan apapun.

Jimin mendengus kesal. “Baiklah. Aku akan naik sendiri saja.” Ia melangkah meninggalkan kedua orang tuanya yang menunggui di balik pagar. Jimin tampak sangat ceria ketika tempat duduk berbentuk cup itu mulai bergerak. Ia berteriak girang  Sesekali melambai pada Sunghee dan Hoseok yang juga ikut tertawa melihat betapa cerahnya wajah sang anak.

“Aku tidak menyangka anakku sudah sebesar ini.” Tutur Hoseok tak melepas pandangannya dari Jimin.

“Hm… Tahun-tahun emasnya sudah kita lewati dengan sia-sia.” Ada gurat sesal dalam sahutan Sunghee.

“Tapi aku bersyukur. Diberikan kesempatan untuk melihatnya bahagia. Semakin bersyukur kalau aku yang bisa memberikan kebahagiaan itu.” lanjut Sunghee.

“Dan kau berhasil memberikannya kebahagiaan.”

Sunghee menoleh pada Hoseok. Hoseok membalas tatapan Sunghee dengan senyuman. “Kau adalah kebahagiaan Jimin.”

Perkataan Hoseok membuat Sunghee tertegun. “Jimin butuh ibunya. Itu yang selama ini membuatnya menjadi anak nakal.” ujar Hoseok.

Rasa bersalah kembali hinggap di hati Sunghee. Hoseok melempar kembali pandangannya pada Jimin yang kini menikmati wahana dengan lebih tenang. Tidak seheboh awal tadi. “Itu pun karena aku tidak bisa memberikan apa yang dia inginkan...”
Hoseok kembali mengarahkan maniknya pada Sunghee, “…perhatian.”

Benar. Yang Jimin butuhkan hanya perhatian, yang tidak Sunghee dan Hoseok berikan dulu. Kini, keduanya menyadari bahwa tidak ada yang lebih berharga selain buah hati mereka. Bahkan tidak ada yang bisa menggantikan harta mereka yang paling berharga itu.

“Jimin bukan hanya milikku. Bukan milikmu…” Hoseok menghela napas pelan, “…tapi Jimin milik kita.”

Mata Sunghee menyendu. Terharu dengan setiap ucapan Hoseok. Sudah bertahun-tahun Sunghee tinggal tanpa Hoseok, namun Hoseok tetap mampu menyentuh hatinya. Bagian hati Sunghee yang paling dalam.
“Maafkan aku atas kesalahan masa laluku.”

Angin mengiringi ucapan Hoseok. Sekian lama mereka berpisah, ucapan itu baru bisa Hoseok lontarkan pada wanita yang dulu pernah mengisi hatinya. “Kurasa Jimin memegang kendali dan kekuatan paling besar disini.” Hoseok tersenyum miring sambil mengarahkan matanya pada sang anak.

“Jimin membutuhkanmu, Park Sunghee…” Hoseok memberanikan dirinya lagi untuk menatap mata Sunghee. Sunghee mengunci tatapan pada Hoseok saat Hoseok menyambung kalimatnya, “… begitu pula denganku.”

Mata Sunghee membulat. Tidak percaya dengan yang baru saja ia dengar. Mencoba mencerna baik-baik perkataan Hoseok. Apa ini artinya Hoseok membutuhkannya juga. Sunghee tidak bisa memastikan. Lidahnya kelu.

“Kembalilah. Ayo kita kembali.” Hoseok menambah pernyataannya. Memperjelas yang ingin Sunghee tanyakan.

Ekspresi wajah Hoseok melembut.

“Aku masih mencintaimu, Park Sunghee.”

[....]
[....]

[....]

[La Fleur]

Hayoloh, ayah Hoseok sama Paman Namjoon,  siapa yang menang nih?


Thank u for all ur support.
I love you so much.

Wella

[BOOK] La FleurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang