Jimin mengantar Jira pulang dengan menggunakan bus umum.
Bukannya tidak modal, tapi saat ditawari untuk diantar sopir tadi, Jira menolak. Maka jadilah sekarang mereka duduk di bus dengan tempat Jira yang berada di pojok, dekat jendela.
"Jira..." Jimin mencoba memanggil, mengalihkan perhatian Jira yang sedari tadi hanya menatap jalanan dari balik kaca bus.
Jira menoleh. "Hm? Ada apa?"
Jimin mengulum bibirnya, benar-benar tidak mengerti harus memulai dari mana. "Eum... maaf." Akhirnya hanya satu kata itu yang mampu terucap.
Jira sendiri menaikkan alis, menatap bingung ke arah Jimin. "Maaf? Kenapa minta maaf padaku, Oppa?"
Jimin menarik napas panjang sebelum bicara. "Aku hanya merasa jika kau pasti kaget dengan perkataan Ayahku tadi. bukan maksud apa-apa, hanya saja—"
Jira tersenyum lembut. "Aku tahu. Orang tuamu pasti hanya ingin hubungan serius, kan? Aku mengerti," kata Jira. "Hanya saja, Oppa ... aku merasa belum siap. Kita masih terlalu muda. Jiwa kita adalah jiwa bebas yang tidak pernah ingin terkekang. Kupikir dengan menyetujui pertunangan denganmu—yang artinya mengikatmu dalam suatu hubungan denganku—akan membuat kita justru terbebani nantinya."
Jimin menggigit bibir bawahnya sejenak, kemudian menghela napas sambil tersenyum. "Aku mengerti ketakutanmu. Kau benar, kita memang masih muda. Tapi apa salahnya, Jira? Hanya membuat hubungan ini menjadi semakin jelas. Itu juga menunjukkan keseriusanku padamu."
Jira menggenggam tangan Jimin yang ada di pangkuan pria itu. Menatap tautan tangan mereka lalu menaikkan wajahnya menatap Jimin. "Aku tahu jika kau serius padaku. Tidak perlu dengan pertunangan pun, aku percaya jika kau serius membawaku untuk bahagia bersamamu." Jira menghela napasnya.
"Tapi, Jira—"
"Bukannya aku tidak mau meresmikan hubungan kita. Tapi seperti yang kau tahu, tanggung jawabku masih banyak. Aku masih harus menyembuhkan Ibuku lebih dulu. Aku masih harus sekolah, masih banyak yang harus kulakukan."
"Kita bisa lakukan itu bersama. Aku bisa membantu kesembuhan Ibumu."
Jira mengelus punggung tangan Jimin. "Maafkan aku karena kali ini aku egois, Oppa. Tapi, bisakah kau menghormati keputusanku?"
Kemudian, Jimin menghela napas panjang. "Oke."
***
Jira tersenyum saat melihat kepergian Jimin. Pemuda itu mengantarkannya sampai depan rumah. Tadinya ngotot ingin segera bertemu dengan ibunya, tetapi Jira menolak dengan halus. Ibunya mungkin sekarang sudah tertidur. Untung saja Jimin mengerti akan penolakannya. Pemuda itu pun memilih pamit dan undur diri.
Jira membuka pintu rumahnya dan segera masuk.
Gadis itu sedikit bingung karena rumahnya benar-benar gelap. Ibunya memang sakit, tapi tidak selemah itu sampai tidak kuat untuk hanya sekedar menyalakan lampu.
Jira pun memilih pergi mengecek kamar ibunya.
Kosong.
Tidak ada orang di sana. Selimut di atas ranjang pun terlihat berantakan. Hal itu membuat pikiran buruk mulai singgah di otaknya.
"Ibu! Kau dimana?" serunya sambil mencari di setiap sudut rumah.
"IBU! Kau dengar aku?"
Jira hampir menangis. Gadis itu akhirnya membuka pintu toilet dan menemukan ibunya yang tengah pingsan di lantai kamar mandi dengan darah yang mengalir dari kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Mr. Park
Fanfiction"Because everyone needs Park Jimin in their life." Dibalik nama besarnya, Jean V. Aiden mempunyai masa lalu yang cukup rumit. Siapa sangka jika pria penuh pesona itu ternyata mempunyai sebuah luka yang besar untuk seorang Kim Jira. Jean pikir, Jira...