• Kita dan Undangan

5.9K 743 222
                                    

Jira hanya duduk diam di sebelah Jean saat pria itu tengah membaca bukunya.

Kali ini mereka menggunakan penerbangan malam sehingga tiba besok pagi di Kanada.

Jira sesekali menggerak-gerakkan kakinya dan melirik Jean yang masih serius membaca. Jean yang merasa dirinya diperhatikan pun menghela napas lalu menutup bukunya. Ia menoleh ke arah Jira. "Mengapa memperhatikan terus sedari tadi?"

Jira menumpukan kedua sikunya di atas sekat antara tempat duduknya dan Jean. Gadis itu menopang dagunya dengan kedua telapak tangan. "Tidak apa-apa, hanya karena tidak ada kerjaan dan penasaran dengan apa yang kau baca."

Jean tersenyum kecil. "Sudah malam. Tidak tidur?"

"Tidak bisa tidur," kata Jira. "Sebenarnya aku sedikit takut. Ini pertama kalinya aku naik pesawat, ngomong-ngomong."

"Lalu kau berencana tidak tidur, begitu?" Jean terkekeh. "Kemari. Duduk di sini." Jean menepuk kedua pahanya.

"Tuan, memangnya boleh melepas sabuk pengaman ini?"

"Tentu saja boleh. Kan itu hanya digunakan saat take off dan landing. Selebihnya jika tidak ada masalah apapun, kau boleh melepasnya."

Jira mengangguk-angguk mengerti. "Tadi pramugarinya juga sudah bilang, sih," lirihnya. "Tapi, Tuan, aku benar-benar boleh bangkit dari tempat dudukku, kan? Pesawatnya tidak akan bergoyang, kan?"

Jean menghela napas kasar. "Permisi, Nona. Kau pikir tubuh kurusmu itu seberat apa sampai bisa mengguncangkan pesawat?"

"Aku kan hanya bertanya." Jira mendengus dan berdiri dari tempat duduknya. Ia baru saja berhadapan dengan Jean saat tiba-tiba pesawat berguncang kecil.

"OH, ASTAGA!" Jira langsung melompat ke pangkuan Jean dan memeluk leher pria itu dengan erat. "Aku akan mati, Tuan! Aku benar-benar akan mati!" Gadis itu berseru sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Jean.

Si pria sendiri justru tertawa. Ia memegangi punggung Jira agar si gadis tak terjatuh. "Hei, hei, sudahlah. Itu biasa. Lihat, semua baik-baik saja."

Perlahan, Jira menjauhkan wajahnya. Matanya sudah memerah karena menahan tangis. Bahkan air matanya sudah turun sedikit.

Jean mengusap pipi Jira yang basah karena air mata. "Semua baik-baik saja, oke? Kau mengantuk, kan? Ayo, tidur."

"Aku tidak bisa tidur," rengek Jira.

Kemudian, Jean memposisikan Jira untuk duduk miring di pangkuannya. Kepala Jira disandarkan pada dada bidangnya sedang tangan Jean memeluk si gadis, menjaga agar tidak jatuh dari pangkuannya. Tangan kanan Jean yang melingkari punggung Jira, mengusap-usap lengan kanan si gadis. "Tidurlah, tidak akan ada yang terjadi." Jean menaruh dagunya di puncak kepala Jira. "Apa aku harus menyanyikan sebuah lagu lagi agar kau bisa tidur pulas?"

Jira menggeleng. "Aku tidak mau berbagi suaramu dengan yang lain." Jira menyamankan tubuhnya di atas pangkuan Jean. Mengistirahatkan tubuhnya di pelukan pria itu. Perlahan, kantuk mulai menyapanya. Hingga detik sebelum Jira sempurna tertidur, Jean mengecup bibir gadis itu perlahan, lalu membisikkan sesuatu.

"Good night, My Love. Have a very nice dream."

***

Jira merasakan hatinya yang berdebar kencang. Kalau tidak salah dan kalau tidak bermimpi, Jira mendengar jika Jean mengucapkan selamat tidur padanya setelah mengecup bibirnya penuh cinta saat di pesawat.

Apa itu benar?

Ah, tidak. Tidak mungkin.

"Kim Jira, kau melamunkan apa, sih?" tegur Jean. Pria itu tengah membuka pakaiannya, bersiap untuk mandi.

Dear, Mr. ParkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang