• Kita dan Teman

5.5K 760 366
                                    

Hidup Jira sedikit banyak mulai berubah setelah dia tinggal bersama Jean.

Jira jadi lebih banyak tertawa, apalagi saat melihat tingkah Jean yang terlalu ajaib. Ada kalanya pria itu akan marah padanya dan terlihat begitu kesal. Namun, setelah menyadari dirinya yang kelewatan, Jean akan melakukan cara-cara aneh untuk menunjukkan penyesalannya tanpa harus mengucapkan kata 'maaf'.

Dan Jira menemukan hal itu begitu manis.

Jira pikir ia sudah menemukan Park Jiminnya yang telah lama hilang. Jira menyukainya. Sangat suka sekali saat Jean mulai bertingkah sok cool padanya padahal telinga pria itu memerah karena malu.

"Kim Jira, kau melamunkan apa, sih? Cepat selesaikan tugasmu, katanya tidak mau lembur, tapi malas. Kerjaanmu melamun saja!" Jean menegur dari kursinya.

Ah, ya, sedikit banyak Jira sudah membiasakan diri dengan kebiasaan Jean di kantor. Pria itu yang selalu membuka kancing kemejanya, tidak mau pakai dasi, atau hal-hal lain yang tidak baik untuk jantungnya. Jira sudah kebal. Semoga.

Karena nyatanya, sekarang Jira masih saja berdebar-debar saat memutuskan mendekati meja atasannya itu. Jean baru saja mengecat rambutnya menjadi hitam pekat lagi setelah sebelumnya rambut pria itu berwarna silver. Apalagi sekarang ditambah dengan kemeja hitam.

Seorang Jean Victor Aiden dalam balutan serba hitam itu, adalah yang paling berbahaya, melebihi radiasi nuklir.

Pria itu menyibak rambutnya ke belakang sebelum mendongak untuk menatap Jira yang berdiri di hadapannya. Jira berpikir jika mungkin saja sekarang hidungnya mengeluarkan cairan kental berwarna merah itu.

"Ada apa?" tanya Jean.

Jira menarik napas sebelum menjawab. "Eum, Tuan … bisakah aku meminta izin mu sebentar untuk keluar? Temanku dari Gwangju datang untuk menemuiku."

"Temanmu? Siapa?" Jean memicing penuh curiga. "Apa seorang pria? Pacarmu?"

Jira menggeleng cepat. "Bukan, bukan. Dia hanya temanku, Tuan. Lagipula dia seorang perempuan."

Dalam hati Jean merasakan kelegaan yang amat sangat. "Siapa namanya?"

Jira hampir saja protes. Jean terlalu banyak bertanya. Tetapi dia memilih untuk menjawab saja, daripada tidak dibolehkan untuk keluar. "Namanya Rose Park."

Jean menaikkan kedua alisnya terkejut. "Rose?"

"Kau kenal Rose, Tuan?" Jira bertanya penuh rasa penasaran.

Jean langsung mengulum bibirnya saat merasa kelepasan. Jira tidak perlu tahu jika Rose adalah adik kandungnya, bisa-bisa gadis itu semakin curiga jika Jean sudah tahu segalanya.

"A-ah, tidak. Hanya namanya aneh sekali. Kenapa orang-orang tua suka menamai anak mereka dengan nama bunga?" kata Jean.

Jira merengut. "Terserah orang tuanya lah! Mengapa jadi kau yang protes?"

"Terus kenapa sekarang jadi kau yang sewot?"

Jira meniup poninya dengan kesal. "Oke, maaf, terserah. Yang jelas aku sudah minta izin padamu. Aku permisi, Tuan."

"Hei, tunggu! Kau makan siang dengannya juga?"

Jira mengangguk. "Tentu. Katanya dia ingin makan di kantin kantor."

Jean memainkan lidahnya di dalam mulut. "Ck, okelah. Sana pergi."

Jira menatap Jean dengan pandangan aneh. Pria itu kenapa, sih?

"Oh iya, Tuan. Nanti kau makan dengan siapa?" tanya Jira.

Jean dan Jira memang selalu makan bersama di ruangan ini. Yah, meskipun Jira makan di mejanya dan Jean juga makan di meja pria itu, tetapi tetap masih bisa disebut makan bersama, kan?

Dear, Mr. ParkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang