Ana sedang memakai henna dikukunya. Gadis itu memang sangat menyukai henna. Maka tak heran telapak tangan dan kukunya tidak pernah lepas dari henna. Jika henna dikukunya mulai pudar maka gadis itu akan segera menghennanya lagi. Bahkan teman-temanya pun sangat menyukai jari tangan Ana. Bagaimana tak tertarik. Jari tangan gadis itu begitu putih-seputih susu, dan jari-jarinya begitu lentik. Titambah warna merah muda di kukunya yang sangat kontras dengan kulitya. Tak jarang pula banyak temannya yang memuji jari-jarinya itu.
Dan mumpung sekarang masih ada jam kosong selama sejam setengah, gadis itu menyempatkan diri untuk menghias tangan dan kukunya. Kegiatan ini juga dapat merileks kan otaknya dari segala kegiatan yang begitu padat di pesantrennya.
Gadis itu begitu mahir menghias. Setelah satu jam kurang Ana menghias. Ia merebahkan badannya di lantai yang dingin itu. Meluruskan otot-ototnya yang panas dan menegang. Baru tiga menit gadis itu rebahan, ia sontak terduduk saat namanya dipanggil.
"Ada apa, Wi?" kamu buat aku kaget tau gak? Sampe lari-lari gitu!" Ana merebahkan badannya kembali dengan santainya.
"Eh eh eh... Malah tidur lagi. Kamu tuh di timbali Umi tuh di ndalem " kata Wiwi, biasa teman-temannya memanggil.
"Hah! Yang bener kamu?" Ana langsung duduk kembali. Rasanya kalo Ibu Nyai memanggil santri itu adalah hal yang paling langka. Biasanya hanya orang yang biasa ikut ndalem saja yang biasa dipanggil. Lah ini sih Ana. Gadis itu menebak-nebak ada apa tiba-tiba Ibu Nyainya itu mencari dirinya.
Gadis yang di panggil Wiwi itu mengangguk"kira-kira ada apa yah?" Wiwi mengangkat kedua pundak dan kedua alisnya bersamaan.
"Tapi, Wi. Aku kan baru selesai ngehenna. Kan sayang kalo dihapus" Ana melihat kedua tangannya, sedih. Karyanya yang ia buat hampir sejam itu harus sia-sia.
"Ana, Umi sudah menunggumu lama. Cepetan! Nanti kamu di semprot loh. Awas nanti dalilnya keluar gimana?".
Tanpa pikir panjang. Ana langsung berdiri sempurna. "Wi, tolong pakaikan kerudung!" Wiwi langsung memakaikan kerudung instan itu di kepala Ana. Karna tangannya masih penuh dengan henna.Tanpa mencuci tangannya terlebih dahulu, Ana langsung melesat pergi ke ndalem. Benar kata Wiwi, bisa-bisa Ibu Nyainya itu mengeluarkan dalil. Jika sudah seperti itu, ia tak mau dicap sebagai santri yang tak nurut sama Ibu Nyainya sendiri.
"Assalamualaikum" Ana membuka pintu ndalem dari belakang rumah Ibu Nyainya. Karna pintu itu terhubung langsung dari pintu dapur pesantren. Ana masuk dengan sangat hati-hati. Di sana, sudah ada Saroh-ibunya Faris, yang biasa di sebut Umi itu sudah duduk di kursi ruang tamu.
"Umi, pripun, Mi?" Ana agak menundukkan pandangannya. Rasanya jika menatap Ibu Nyainya itu tak sopan.
"Eh, Ana. Iyah sini" Ana mendekat kearah Saroh "ini, Umi dan Abahkan mau pergi dan belum sempat masak. Jadi, tolong yah masakin bahan-bahan ini. Terserah kamu mau masak apa saja" Ana mengangguk mengerti.
"Yah sudah. Umi dan Abah pergi dulu yah" Saroh tersenyum dan beranjak pergi. Baru saja melangkah satu langkah, Saroh teringat sesuatu"oh yah, Ana. Setelah selesai masak. Tolong bereskan kamar Faris, yah. Ya sudah. Assalamualaikum".
Ana sontak melototkan matanya. Apa katanya? Membereskan kamar Faris? Pria tua yang menyebalkan itu. Oh tidak! Ini salah. Kenapa harus dia yang membereskan? Bukankah ada Mbak-mbak ndalem yang biasa membereskan nya?.
Gadis itu membuang napasnya pelan. Huh.... Baiklah Ana. Ini perintah dari Ibu Nyaimu. Jadi, jangan membantah, walaupun anaknya itu sudah membuatmu naik darah, kau harus tetap hormat padanya. Sisi otaknya mengingatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gus Killer
Romance[Siquel dari Pacar Halal, tapi kalian bisa bacanya secara terpisah] "Dasar pria tua menyebalkan! beraninya dia menciumku di pinggir jalan yang begitu ramai. Aku tidak terima ini! Akan ku laporkan kamu pada Abi dan Umiku!". Seorang Gus yang sangat...