12. Memaknai Hidup

14.5K 823 58
                                    

  Faris sedang memanaskan mobilnya, pria itu akan bersiap-pergi mengunjungi toko Ibunya yang berada di pasar Kota Surabaya. Setiap tiga hari sekali Faris akan mengunjungi toko bangunan Ibunya itu tanpa di suruh. Karna Saroh sudah menugaskan pada anaknya untuk selalu mengecek kedua toko bangunan nya.

"Kang, tolong nanti kalo Umi tanya, bilangin saya pergi ke toko bangunan yah. Saya mau mengecek" ucap Faris pada salah satu santri laki-laki nya yang sedang menyapu di halaman. Satrinya itu mengangguk patuh "Enjih, Gus".

"Terimakasih" Faris menjalankan mobilnya, lalu mulai berangkat dengan sangat santai. Gerbang pondok yang menjulang itu sudah terbuka lebar-lebar, disana sudah ada santri lain yang baru membuka gerbang untuk gusnya itu.

  Faris membuka kaca mobilnya sedikit. Lalu pria itu terseyum pada santri nya "Terimakasih, Kang". Kata Faris ramah.

"Enjih, Gus. Sama-sama" jawab santrinya sambil menunduk "hati-hati, Gus".

  Faris mengangguk.

  Pria itu terus melajukan mobilnya membelah jalanan. Sepanjang perjalanannya Faris sambil mengamati keadaan disekitar. Banyak orang yang berlalu lalang. Berhamburan kesana kemari untuk pergi bekerja. Mencari nafkah untuk bisa menghidupi keluarganya. Terkadang Faris merasa kasihan pada orang-orang yang berada di pinggir jalan itu, para pedagang kaki lima, asongan, dan ada juga para pemuda yang mengamen, meminta-minta serta pemuda dengan pakaian berandal seperti preman. Tindik yang menempel berjejeran di telinga. Sangat mengerikan.

  Sampai-sampai Faris bergidik ngeri dengan kehidupan di luar. Faris bersyukur bisa hidup dalam lingkup keluarga yang sangat menjujung tinggi nilai agama. Mengenal pesantren dan mengerti akan hal akherat.

  Terbesit dalam diri Faris, ia ingin membangun sebuah pesantren lagi untuk orang-orang yang tak mampu. Atau siapapun, termasuk juga orang-orang yang benar-benar ingin berhijrah. Tanpa di kenakan biaya apapun. Ia ingin membuat seseorang bisa belajar agama lebih dalam tanpa harus meminkirkan soal biaya. Yang terpenting orang itu benar-benar ingin belajar dengan sungguh-sunguh baginya sudah cukup.

  Sebenarnya cita-cita itu sudah lama ia impikan, namun kembali lagi pada bagaimana caranya agar impiannya itu bisa terlaksana. Semua butuh dana. Yang ia pikirkan, dana dari mana untuk mewujudkan itu?

  Tapi ia berjanji suatu saat nanti impian itu akan ia wujudkan, meskipun harus sepuluh tahun yang akan datang, atau dua puluh tahun yang akan datang, atau meski harus lebih. Tekat nya sudah bulat. Ia yakin jika Allah pasti akan membantu hambanya untuk melakukan hal kebaikan.

  Ketika manik mata Faris melihat seorang anak kecil berusia lima tahunan itu sedang menangis sendiri di tepi jalan,  sambil memegang subuah balon. Hatinya terdorong untuk menghampiri. Sepertinya anak perempuan itu sedang mencari ibunya, terlihat dari kepalanya yang terus anak itu tengokkan kesegala penjuru arah.

  Faris menepikan mobilnya, lalu pria itu keluar mendekati anak mungil cantik itu.
Pria itu menjongkok lalu meraih tubu kecil itu dengan sayang.

"Dek, siapa namamu? Kenapa kamu menangis disini?" tanya Faris lembut.

  Anak kecil itu masih meringsek, mengucek kedua matanya dengan tangan kecilnya.

"Namu aku Zulfa, Om" kata anak kecil itu dengan nada sendunya.

  Faris mengerutkan alisnya, Om? Apa aku terlihat setua itu? Dia anak kecil, tidak mungkin bisa berbohong. Ah sudahlah yang penting aku masih terlihat tampan.

"Aku mencari Bunda. Tadi Bunda ada disini, tapi tiba-tiba gak ada. Zulfa takut, Om" anak kecil itu semakin menangis sesenggukan. Faris bingung bagaimana menghadapinya, sebelumnya Faris belum pernah menangani anak kecil yang sedang menangis seperti ini.

Gus KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang