19. Ujian Allah

14.1K 795 98
                                    

"Savirah, ada apa?" tanya Ana hati-hati. Melihat raut wajah Savirsh yang di kusut membuat Ana tak enak melihatnya. Selama ini Savirah happi-happi aja seperti tak punya masalah sama sekali, tapi hari ini?

  Gadis itu masih murung. Enggan berbicara. Hani tak mau memberitahukan lewat bibirnya biarkan Savirah yang langsung mengatakan nya saja pada Ana. Sedangkan Ana, gadis itu masih menunggu Savirah bicara.

"Yaudah kalo kamu masih belum ingin cerita. Aku akan tak memaksa, kok" ucap Ana mengalah. Ia tak mau semakin membuat Savirah terbebani karna terlalu mendesaknya.

"Aku disuruh nikah sama Ibu setelah lulus dari sini" akhirnya Savirah mengatakan masalah nya pada Ana, rasanya sangat sakit saat Ibunya mengatakan jika ia harus menikah setelah ini. Savirah masih ingin mengahabiskan masa mudanya untuk mencari ilmu yang lebih tinggi lagi. Gadis itu tertunduk lemah, tangannya memainkan ujung jilbab.

   Ana dan Hani menatap kasihan pada sahabatnya itu, mereka tahu bagaiman Savirah, apa cita-citanya dan impiannya. Lalu saat mendengar Savirah akan dinikahkan kedua sahabatnya terlihat shock.

"Kalian tahu kan? Bagaimana aku? Aku tak mau nikah dulu. Aku mau menghabiskan muda ku mencari ilmu yang lebih tinggi lagi. Bukan malah menikah dengan anak dari teman Ibu" kali ini Savirah benar-benar terlihat rapuh. Baru kali ini Ana dan Hani melihat Savirah begitu tersiksa dengan keputusan Ibunya itu.

   Kedua pasang mata itu semakin menatap lemah, ikut merasakan sakitnya juga. Mereka pasti akan merasakan hal yang sama seperti Savirah jika seperti ini.

   Ana mengelus punggung Savirah mencoba menenangkan nya. Namun gadis itu malah semakin menangis. Sangat terbalik dengan Ana. Jika Ana menginginkan langsung menikah setelah lulus tetapi, ia tak di ijinkan oleh Abinya. Justru Abinya menyuruh Ana mencari ilmu di salah satu Universitas di luar negeri. Sungguh, Ana tak menginginkan itu. Menurut nya menjadi seorang istri jauh lebih baik. Menjaga keluarga, menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya dan yang terpenting selalu mengabdi pada suaminya kelak. Ah,,, bukankah itu keluarga yang sempurna?

   Memang bukan cita-cintanya menjadi istri muda, hanya saja setelah ia tahu banyak hal dari pesantren, seperti ia telah mengaji kitab-kitab yang menyangkut tentang berumah tangga bahwa jika menikah itu semuanya berisi ibadah, hati Ana terdorong untuk menikah saja. Toh, mencari ilmu bisa setelah menikah bukan? Atau mengajak sang suami juga pergi keluar negeri sekalian. Tinggal disana lalu setelah lulus kembali lagi ke daerah asal.

   Atau jika tidak, ia bisa belajar saja sendiri pada suaminya tanpa harus kuliah. Maka target Ana sekarang adalah mencari suami yang lebih pandai darinya. Lebih tinggi derajatnya dan paling pasti, lebih dewasa dari isianya. Agar Ana merasakan pengabdiannya hanya pada suaminya kelak. Bukankah jika sudah menikha syurganya akan berpindah pada sang suami?

   Kata salah satu kitab yang ia pelajari, bahwa seorang istri adalah di ibaratkan sebagai baju sang suami. Penutupi dari segala aib-aibnya.

"Iyah, Sav... Kami mengerti. Tapi beliau Ibumu, kamu harus patuh padanya. Atau kamu ngomong lagi saja, berikan penjelasan yang kuat" kata Ana dengan bijak, mau bagaimana lagi? Ia hanya bisa mengatakan hal itu. Walau sebenarnya Savirah tak semudah apa yang di katakan oleh sahabatnya.

"Aku udah bisaca sama Ibu. Tapi Ibu ngotot banget buat nikahin aku, Ana. Aku tak tahu harus apa?" Hani dan Savirah memeluk Savirah bersamaan. Memberikan kekuatan. Disaat seperti ini, Ana dan Hani hanya perlu mendengarkan keluh kesahnya, dan memberikan nasehat sebisanya.

"Kamu tahu yang apa yang terbaik, Sav. Bahkan kamu juga tahu jika mematuhi orang tua adalah kewajiban kita" kali ini Hani angkat bicara. Tangannya menggenggam tangan Savirah yang terasa dingin.

Gus KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang