14. Dejavu

14.3K 920 107
                                    

  Tanpa di persilahkan oleh Savirah sama sekali, Sheila langsung menerobos masuk dengan menyenggol tubuh Savirah yang berada di tengah-tengah pintu kamar. Savirah sampai sempongan akibat nya. Mata Sheila sudah berkobar, berkilat marah. Sepertinya iblis sudah menguasai jiwanya.

PLAKKK!!!

  Tangan Sheila mendarat di pipi mulus milik Ana, pipinya yang putih sangat kontras dengan warna yang di hasilkan oleh tamparan tadi. Ana memegangi pipinya. Matanya menatap nanar pada orang dihadapannya. Savirah dan Hani menatap Sheila dengan wajah tak mengerti. Apa maksudnya tiba-tiba datang lalu menampar? Waraskah dia?.

  Hani mendengus kesal, sedangkan Savirah pun tak kalah sengitnya melihat ini. Sunguh, Sheila benar-benar kelewat batas. Jika ia tak suka, seharusnya di selesaikan dengan sikap dewasa, bicara baik-baik dengan kepala dingin, lalu mencari jalan keluar untuk menyesaikan masalah, bukan dengan cara seperti ini!

  Kakanak-kanakan!

  Mata Ana sudah berkaca-kaca, gadis itu memang mudah sekali menangis, namun sebisa mungkin Ana menahan air matanya sampai ia tak mau mengedip barang sekali pun. Karna pasti tetes demi tetes buliran bening itu akan meluncur.

  Ana... Jangan menangis. Kau harus kuat. Allah bersama mu, dan Dia mencintai hambanya yang penyabar dan pemaaf.
Sisi hati ana mengingatkan.

"Mbak, Sheila! Apa apa maksudnya ini?! Tiba-tiba menampar, Ana? Apa Mbak tidak pernah di ajarkan sopan santun?!" Savirah berdiri di sisi Ana. Gadis itu sudah dongkol oleh tingkah Sheila. Jelas sekali dengan raut wajah Savirah di sana. Gadis itu tak menampakkan ketakutan sama sekali pada Sheila.

  Keadaan ruangan itu semakin panas. Ana hanya diam, tak sekalipun ingin menanggapi Sheila, meledeni orang seperti nya sama saja tak ada perbedaan.

"Diam kamu! Aku gak punya urusan sama sekali dengan mu!".

"Jelas akan menjadi urusan aku, Mbak Ana sahabatku. Masalah dia akan menjadi urusan ku juga!".

"Aku juga!" Hani berdiri di sebelah Ana.

   Sheila menatap ketiga orang di hadapannya lebih tajam "okkeh, katakan pada sahabat kalian itu. Jangan pernah lagi mengganggu calon suami orang!". Sheila menekankan kalimat 'calon suami'.

"Hah... Calon suami? Siapa? Gus Faris? Seharusnya Mbak sadar kenapa Gus Faris lebih memilih Ana. Mbak memang cantik, namun hati mu bagaikan iblis!" Savirah tak mau kalah. Gadis itu tak memandang Ana sebagai orang yang harus di hormati. Walaupun Sheila mempunyai kedudukan Ustadzah, tapi buat apa jika perilakuannya tak patut di contoh.

"Kamu" Sheila menunjuk Savirah dengan jari telunjuknya. Wanita itu semakin kesetanan. Tak terima dengan omongan Savirah.

"Jaga bicaramu!" lanjut Sheila.

"Seharusnya, Mbak yang harus jaga bicara. Mbak ini Ustadzah, seharusnya mencotohkan yang baik pada muridnya. Bukan malah seperti ini! Dan satu lagi" Savirah menjedah omongannya. "Apa Mbak tidak pernah diajarkan sopan santun?" Savirah merasa menang. Gadis itu menatap sinis pada lawannya. Juga tak kalah sengit dengan Sheila. Wanita itu semakin murka. Hantinya semakin terbakar emosi.

"Diam kamu, bocah. Kalian semua tidak ada bedanya dangan perempuan satu ini" Sheila kembali menuding wajah Ana. Telunjuknya dekat sekali dimata Ana. Ana semakin menegang. Aura di ruangan itu sudah panas memuncak. Mendidih dan hampir meledak.

"Dan kamu, Ana. "DASAR WANITA MURAHAN!!!”.

  Deg

  Ana menatap dalam mata Sheila, mendengarkan kata-kata itu di telinganya, jantung nya langsung mendadak mati. Kata-kata itu sangat menusuk hati Ana. Air mata yang tadi ia tahan kini sudah mengaliri pipinya lalu turun kehijab hitamnya, merembas ke kain dan menjalar. Hati gadis itu tak baik-baik saja sekarang.

Gus KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang