03. Mentari kembali bersinar

18.9K 985 36
                                    

  "Faris, gimana kemaren?" Kata Saroh sambil membersihkan meja makan. Faris masih diam. Pria itu tak mengerti pertanyaan Uminya. Gimana apanya?.

  Saroh tersenyum melihat wajah anaknya yang kebingungan menjawab pertanyaannya "itu loh, masakan Ana. Enak gak?" Faris langsung mengingat masakan kemaren yang dia lahap begitu rakus. Seperti tidak pernah makan selama sebulan. Bibir pria itu tersenyum, namun Faris menyembunyikan dari Uminya.

"Heum...?".

"Oh itu. Enak, Mi".

  Jadi, kemaren itu masakan Ana? Aku tak pernah menyangka kalo masakannya begitu lezat. Bahkan aku sampai ketagihan dengan sambal buatannya. Faris terbesit rasa bersalah kemaren, karna telah mengeluarkan Ana dari mata pelajarannya. Sebenarnya, ia hanya bercanda melakukan hal itu. Ia hanya iseng ingin mengerjai Ana.

  Tapi ia juga tak menyangka akibat tindakannya itu Ana menangis. Faris sempat melihat mata Ana berkaca-kaca kemaren.

Huft...

Baiklah, aku akan meminta maaf padanya.
"Umi, aku pergi dulu yah"
Faris langsung melesat cepat. Uminya hanya melongo melihat tingkah anaknya itu. Biasanya, jika ia akan pergi pasti mencium tangan dulu. Tapi sekarang, pria itu langsung menyelonong pergi tanpa Uminya memberi ijin. Saroh hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sadar jika anaknya itu sudah dewasa. Dan sudah tidak pantas lagi jika ia masih melarang Faris pergi.

  Faris menjalankan mobilnya, para santri yang sedang berlalu lalang di sekitar rumahnya itu, seketika berhenti berjalan. Menundukkan kepalanya dan memberi salam pada Gusnya itu.

  Pria dewasa itu terus melajukan mobilnya membelah jalan raya. Pria itu menuju tokoh jihab yang begitu besar. Disana berbagai merk hijab sangat tertata rapi. Dari mulai harga diskon yang paling besar sampai harga yang paling mahal.

  Kini Faris sedang memilah-milah hijab itu, mencari warna yang pas untuk warna kulit Ana yang putih. Ia juga sedikit bingung memilih model apa yang cocok untuk Ana.

  Akhirnya pria itu mengambil kerudung segi empat dengan warna pink. Bermotif bunga kecil-kecil. Sangat terlihat manis dan cerah manurutnya. Apa lagi di tambah wajah Ana yang seputih susu itu. Faris kembali tersenyum. Pasti akan terlihat sangat cantik.

  Ah! sebenarnya ada apa dengan hatinya. Apa dia menyukai gadis itu. Santrinya sendiri? Oh tidak-tidak aku hampir melupakan jika dia seorang Ning pemilik pesantren di Cirebon.

Otaknya mulai korslet sekarang.

***

  Faris terus memandangi kotak persegi itu. Bagaimana aku memberikan ini padanya? Bagaimana kalo pas masuk pelajaran?. Tidak! Bukan waktu yang pas. Bagaimana kalo santri lain salah paham? Lalu tersebar berita tentang ini.

  Faris merebahkan badanya. Tangannya ia selipkan di belakang kepalanya. Menatap langit-langit kamarnya yang putih itu. Pikirannya terbang pada gadis itu. Gadis berusia 20 tahun yang begitu manis.

Tok... Tok... Tok...

Pintu kamar Faris di ketuk seseorang dari luar. Lamunannya terhenti. Ia mengusap wajahnya kasar. "Eh Abah. Masuk, Bah".

  Lelaki berumur 57 tahunan itu masuk kekamar anaknya. Lalu mendudukkan  pantatnya di tepi ranjang. Manik matanya menatap Faris. Wajahnya begitu berseri, dan sangat berwibawa. Tambahan sorban putih di pundaknya dan peci yang menengger di palanya sangat terlihat begitu 'alim.

"Iyah, Bah. Ada apa?"

"Gini Faris, seperti yang sudah Abah bilang tadi malam. Kamu ikut Abah ngisi acara di Demak yah. Nemenin Abah. Gak mungkinkan Abah minta Umimu. Lagi pula nanti jika Umi ikut Abah siapa yang menjaga rumah?"

Gus KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang