20. Hari mendebarkan

13.6K 834 78
                                    

"Hani, Savirah" Ana memanggil kedua sahabatnya dengan suara parau. Gadis itu berusaha duduk sambil memegangi kepalanya.

"Ana... Alhamdulillah kamu sadar. Hani tolong ambilkan air putih" Savirah duduk di sisi ranjang.

"Ini, An. Minumlah". Ana meminum air yang disugukan Savirah sampai kandas.

"Masi pusing?"

  Ana menggeleng pelan.

"Sav, apa ada kabar selanjutnya tentang tadi?" Ana bertanya dengan hawatir.

"Sudah, Ana, jangan pikirkan hal itu dulu. Kamu kan baru sadar".

"Assalamualaikum" pintu kamar itu di ketuk seseorang dari luar. Hani beranjak dari duduknya dan segera membuka pintu itu.

"Wa'alaikumussalam. Ustadzah Lu'lu!" Hani keget bukan main saat siapa seseorang yang telah mengetuk pintu kamarnya. Ada rasa takut di benaknya. Bukan hanya Hani, Savirah dan Ana pun di buat menegang seketika.

  Jantung Ana sudah di pukul-pukul keras. Gadis itu menundukkan kepalanya dalam. Sedangkan Savirah yang mengetahui ketakutan Ana, ia segera memegang tangan Ana. Meremasnya kuat-kuat. Kekedar menguatkan jika ia tak sendiri. Masih ana kedua sahabatnya yang selalu setia disisinya.

"Silahkan masuk, Ustadzah" kata Hani ramah. Namun orang di hadapannya menolak.

"Tidak, terimakasih".

"Ana... Ikut Ustadzah keruangan" Lanjutnya lagi.

  Hani melirik orang di belakangnya.

  Ana menatap nanar pada Savirah. Mata itu menampakkan kerapuhan yang tak mungkin bisa orang lain dapat membangkitkannya lagi.

"Sertakan Allah dalam setiap hembusan napasmu. Berdoalah semoga tak terjadi apa-apa".

   Ana mengangguk lemah. Lalu berusaha tersenyum, namun senyum yang ia tampakkan begitu hambar.

  Gadis itu mengekor di belakang Lu'lu sambil terus menundukkan kepala. Mengingat kejadian barusan dia merasa sudah tak mempunyai muka lagi. Sungguh ia merasa malu.

***

"Mungkin kamu sendiri sudah tahu apa tujuan Ustadzah memanggilmu sekarang" Lu'lu menampakkan wajah yang tak  bersahabat pada Ana. Kejadian dulu seperti terulang kembali. Ana masih ingat jelas eskpresi wajah itu.

  Nyali Ana semakin ciut, layaknya seekor semut yang di hadapkan dengan seekor gajah yang besar. Gadis itu tak punya keberaniaan sedikitpun untuk menatap Ustadzah nya.

  Keringat dinginpun semakin bercucuran, kedua tangannya yang dingin itu ia tak henti-hentinya saling meremas. Ia lupa pesan Savirah untuk selalu mengingat Allah dalam setiap hembusan napasnya.

"Ana tahu, Ustadzah" jawab Ana lirih namun juga dengan bibir yang agak bergetar.

"Lihat ini!" Lu'lu menjatuhkan sebuah foto dan sebuah surat di sertai dengan amplop berwarna biru muda.

  Gadis itu tersentak saat melihat kedua benda itu. Iyah, Ana tahu kesalahannya. Tapi, untuk sebuah surat, Ana tak tahu sama sekali. Ia tak pernah mendapat surat beramplop biru itu. Membuatnya pun ia tidak.

  Allah... Siapa sebenarnya yang telah melakukan ini?

  Ana kembali mengingat surat dari Faris, bukan surat itu yang ia dapat, melainkan surat berwarna putih, tidak mungkin tiba-tiba berubah warna begitu saja kan?

"Ustadzah-"

"Jangan mengelak lagi, Ana. Ustadzah sudah memberikan kesempatan pada mu untuk tidak mengulangi nya lagi. Lalu sekarang apa? Kamu malah melanggar lagi. Kamu sudah membuat kepercayaan ku hilang pada mu. Dan kamu lihat itu" Lu'lu menunjuk foto Ana yang tak pantas untuk di lihat. "Kamu sudah membuat satu kesalahan, dan sekarang kamu malah membuat kesalahan lain!" suara Lu'lu terdengar seperti petir yang menyambar kepalanya. Otak gadis itu seakan tak bisa berputar normal,

Gus KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang