04. Kegundahan Ana

19.9K 876 38
                                    

 Mohon komentarnya jika menemukan typo🙏 biar aku bisa langsung revisi🙏☺

*
*
*

  Seminggu setelah Gus Faris memberikan kado itu. Seluruh santri wati gempar dengan membicarakan gosip yang langka ini. Seorang Gus memberikan kado pada santrinya? Bukan kah itu adalah hal yang sangat langka?. Jika semua santri menginginkan hanya mendapat sapaan dari Gus Faris saja rasannya seperti mimpi, apa lagi mendapat sebuah kado?. Mungkin akan guling-guling di lantai. berbeda dengan Ana, gadis itu memang senang dengan pemberian Gusnya, namun jika urusannya sampai harus gempar seisi pesantren, lebih baik ia tak pernah mendapatkannya. Ana tak suka dengan gosip seperti ini. Kupingnya benar-benar terasa panas harus mendengarkan orang-orang yang di sekitarnya membicarakan tentangnya. Apa lagi ia mendengarkan Kakak satu tingkat nya yang baru keluar satu tahun yang lalu.

"Ya iyalah dia di kasih kado. Secara dia kan seorang Ning. Pemilik pondok yang besar di Cirebon. Siapa yang tak suka? Pasti dia minta sama orang tuanya untuk di jodohin sama Gus Faris".

"Cieeehhh.... Ana di kasih kado. Kayanya kamu lancar ya baca surat yusuf nya tip hari".

"Ekhemm... Dikasih kado. Kamu punya cara apa? Peletnya manjur bener".

"Ana.... Bagi-bagi cara dong. Gimana cara kamu kok bisa di kasih kado gitu?".

"Heh... Dia kan anak Kyai Cirebon yah bisa ajalah. Kalo kamu mau dapet kado. Kamu harus punya pondok dulu yang gede. Emang kamu punya pondok?".

"Punya. Satu komplek malah".

"Itu mah bukan pondok. Tapi.... Rumah AYAM".

  Ana hanya diam saja dengan semua perkataan orang-orang di sekitarnya. Biarkan saja mereka menilai apa yang mereka lihat. Toh yang dosa mereka bukan dirinya. Ana maklum saja mereka bicara seperti itu, mungkin hanya iri dengannya.

  Namun, jauh di pelupuk hatinya ia tak terima jika membawa-bawa nasabya. Dia memang anak seorang ternama di daerahnya, namun ia tak mau di beda-bedakan. Ia tak mau di pandang sebagai anak orang yang terpandang. Ana sama seperti yang lain. Sama-sama ingin hidup bersama tanpa ada perbedaan ras atau apapun.

  Apa lagi ia tahu ada satu orang kakak tingkatnya yang juga sama menyukai Gus Faris. Namanya Sheila. Dia juga anak seorang Kyai, tetapi cara bicaranya tak pernah disaring sama sekali. Dia juga mempunya pesantren di daerahnya, namun tak sebesar pesantren Faris dan Ana. Sheila sudah dipesantrenkan oleh orang tuanya dari mulai umur 7 tahun. Dan sekarang ia menjabat sebagai Ustadzah di pondoknya. Namun beruntungnya Ana tak di ajar oleh Sheila.
  Itulah yang membuat Ana tak berani melawan bicaranya. Ana merasa tak pantas jika mendebat bicaranya. Yah walaupun umurnya tak jauh berbeda.

  Setiap kali Ana bertemu dengan Sheila, ia selalu mendapat tatapan yang sinis. Sama sekali tak bersahabat.

  Gadis itu hanya menunduk, menatap lantai berwarna putih itu. Meremas kedua tangannya sendiri. Tak berani menatap balik seniornya.

  Di dalam sebuah kamar yang hanya di huni oleh tiga orang itu. Ana hanya memandangi kado yang di berikan oleh Gusnya seminggu yang lalu. Ia hanya membukanya. Tak sekalipun untuk mencobanya. Bahkan di sentuh saja ia tak pernah sama sekali. Dapet kado saja sudah banyak yang nyelatuk. Apa lagi nanti jika ia memakainya. Pasti lebih pedas lagi kata-katanya.

  Ana tersentak saat bahunya ada yang menyentuh.

"Ana. Kenapa?". Savirah duduk di sisi ranjang. Tepat di sisi kanan Ana.

Gus KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang