09. Darah haid

16.9K 947 79
                                    

   Ana terus merintih di atas tempat tidurnya. Tangan gadis itu terus memegangi perutnya yang teramat amat sakit. Tubuh Ana sampai harus jungkir balik demi rasa nyeri di perutnya itu berkurang. Apa lagi jika bukan karna tamu bulannya itu. Ana memang harus selalu siap dengan rasa nyeri yang selalu hinggap saat di akhir bulan.

   Terkadang Ana seperti mau pingsan akibat nyeri itu. Ana merasa tersiksa, namun harus bagaimana lagi? Kodrat seorang perempuan adalah hal yang harus di syukuri. Ini karunia dari Allah. Jika ia tak mendapat tamu di setiap bulananya, bukankah itu termasuk kelainan?

   Ana hanya bisa bersabar saat nyerinya itu kembali muncul. Biasanya, obatnya itu hanya meminum jamu herbal. Tapi sialnya jamu persediaannya itu sudah habis. Ia lupa membeli saat Ibunya datang kemaren.

   Biasanya Aminah selalu membawakan jamu herbal itu dari rumah. Tetapi, mungkin Ibunya itu lupa membawakan untuknya. Jadilah ia meminum kiranti. Namun bukannya nyeri itu mereda malah tambah menjadi-jadi. Ana semakin merintih kesakitan, gadis itu sampai harus mati-matia manahan rasa sakitnya.

   Ingin menangis, percuma saja. Bukan solusi yang tepat tak akan juga mengurangi rasa nyerinya.

   Ana mencoba bangkit dari ringkukannya, ia ingin mengambil air yang terletak diatas meja mungil di sampingnga. Tetapi, tangannya tak sampai. Hingga akhirnya gelas kaca itu tersenggol dan terjatuh. Ana tak menghiraukan kekacauan itu, gadis itu masih memegangi perut bagian bawahnya. Sungguh, ia merasa sangat tersiksa.

   Mendengar ada suara gelas pecah dari dalam kamarnya, Savirah yang sedang berada diluar itu sontak saja langsung berlari kerah sumber suara. Betapa ia terkejutnya saat melihat pecahan gelas sudah berserakan. Savirah semakin panik saat melihat Ana yang sedang merintih kesakitan itu.

"Ya Allah... Ana... Ada apa?" ucap Savirah hawatir.

"Savirah.... Sakiiit... " kata Ana dengan suara paraunya.

   Savirah makin bingung. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Pasalnya, ia tak pernah melihat Ana sampai seperti ini jika sedang haid. Biasanya hanya nyeri biasa dan langsung hilang. Namun sekarang, malihat Ana yang terus jungkir balik itu, ia semakin dilanca hawatir.

   Tidak mungkin ia menelpon Umi Ana untuk kemari hanya untuk sekedar membawakan jamu herbal untuk Ana. Ingin membeli, tapi toko penjulan jamu herbal itu sangat jauh.

"Ana, katakan kamu mau apa? Akan aku ambilkan"

"Savirah, tolong ambilkan air hangat. Mungkin akan lebih membaik".

   Savirah langsung menuangkan air hangat dari termos munggil yang selalu tersedia itu. Karna mereka sendiri lebih suka minum air hangat ketimbang air biasa.

"Minumlah" Ana langsung meminum air itu hingga tandas.

"Lagi?"

   Ana menggeleng.

"Sudah lebih baik?"

"Sedikit".

"Aku akan membereskan pecahan ini dulu" Ana mengangguk.

   Lima menit kemudian ruangan itu kembali bersih. Ana masih rebahan di atas kasurnya. Rasa nyerinya itu perlahan mulai reda.

"Ana, sebaiknya kamu izin aja yah diniyahnya. Kamu masih sakit kan?"

"Tidak, Savirah. Aku tidak mau. Lagian sakitnya udah mulai ilang kok. Aku gak mau semakin ketinggalan pelajaran. Aku sudah dua hari gak masuk".

   Terkadang Savirah merasa bangga pada sahabatnya itu, karna semangat belajar Ana sangat tinggi. Buktinya saat Ana gak masuk selama dua hari kemaren, Ana meminta pada Savirah untuk menjelaskan pelaran padanya. Namun disisi lain, Savirah kesal jika Ana sudah bertanya padanya. Bagaimana tidak, pertanyaan Ana membuatnya pusing. Karna pertanyaan Ana sama sekali tak terjangkau olehnya. Kritis dan mendetail.

Gus KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang