06. Tentang Pria Tua

18.1K 863 46
                                    

  Saroh mengajak Ana untuk menemaninya ke toko bangunan miliknya. Saroh akan mengecek perkembangan toko-toko miliknya yang terletak di pasar-tidak jauh dari pesantren. Mungkin sekitar Setengan jam. Dan kebetulan hari ini adalah hari libur, makanya saroh berani mengajak Ana pergi.

  Kedua orang itu, kini sedang menaiki sebuah mobil berwarna silver dengan merk Pajero yang begitu nyaman. Ana sampe dibikin ngantuk oleh ke nyamanan mobil itu. Ana juga sebenarnya agak tak percaya bisa satu mobil dengan Ibu Nyainya. Selama enam tahun ia di pesantren, baru kali ini dia bisa pergi menemani Saroh mengunjungi toko-tokonya. Dan itu adalah suatu kebanggaan buat Ana. Karna sangat jarang seorang santri bisa pergi dengan Ibu Nyainya sendiri sambil menaiki mobil.

  Biasanya yang menamani Saroh pergi itu para khodim nya, bukan santri seperti Ana. Atau biasanya Saroh di temani oleh Sheila-Ustadzah pondok yang sudah senior- dia sudah sedari kecil di pesantrenkan.

"Ana".

"Enjih Umi".

"Umi gak nyangka ternyata masakan kamu enak banget" Saroh tersenyum. Dan Ana hanya tersenyum malu-malu mendapat pujian seperti itu.

"Enjih, matur suwun Umi".

"Apa kamu pernah ikut kursus memasak?"

"Mboten, Umi. Ana hanya belajar sareng Umi Ana mawon teng griya".

"Loh, kamu punya santri kan?"

  Ana mengangguk sopan"Enjih, Umi"

"Apa mereka yang memasak?"

"Mboten, Umi. Umi Ana sendiri yang memasak. Umi mboten pernah ngengken santri ngagem masak. Tapi, menawi pekerjaan lintu, memang santri sedanten" ucap Ana dengan bahasa cirebon yang khas.

  Saroh manggut-manggut. Mobil yang mereka tumpangi kini sudah terparkir di depan toko bangunan itu. Toko ini salah satu cabang di rumah terdekatnya. Saroh mempunyai dua toko bangunan lagi di daerahnya. Dan keduanya sama-sama besar, juga jaraknya saling berjauhan.

"Oh iyah Ana. Nanti kalo Umi kamu mau kesini, bilangin Umi mau nitip beliin trasi. Umi mau coba buat sambal trasi yang seperti kamu buat"

Gadis itu mengangguk lagi"Enjih, Umi".

  Ana dan Saroh keluar dari mobil. Hendak saja Ana menyusul Saroh di belakangnya. Langkah gadis itu terhenti saat ada suara lelaki yang sangat ia benci-eeh...maksudnya dia hormati. Pria itu mencium tangan Ibunya.

"Umi" Faris meraih tangan Saroh lalu menciumnya dengan penuh takdzim.

"Faris. Kamu sejak kapan disini?" Saroh tak menyangka jika anaknya berada di tokonya itu. Biasanya Faris sangat susah untuk mengecek toko yang ada di daerah ini. Katanya tokoh yang ini sangat kotor, apalagi jalanan di sekitar nya pun banyak sampah yang berserakan. Tidak seperti kedua toko lainnya yang berada tepat di kota Surabaya itu.

  Memang sejak kecil, Faris sangat menjaga kebersihan. Dia langsung alergi jika ada bau sedikit saja. Apalagi melihat sampah yang berserakan, atau terkena debu maka dia akan langsung terkena flu.
  Faris melirik pada gadis yang berada tepat di belakang ibunya. Pria itu tersenyum, Faris juga tak menyangka jika ibunya akan mengajak Ana. Dihatinya terbesit rasa bahagia yang tinggi, namun perasaan itu ia hanya mampu memendamnya sendiri.

Menyakitkan!

"Umi kenapa tidak sama Sheila ke sini?" tanya Faris, namun tatapannya tetap sinis kearah Ana. Sedangkan Ana, gadis itu hanya diam saja sambil menunduk. Ana benar-benar malas melihat lawan jenisnya itu.

"Kebetulan dia lagi gak ada tadi. Jadi, Umi ajak Ana".

"Kamu mau pulang?" tanya Saroh pada anaknya.

Gus KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang