21

64 8 0
                                    

Aku menjambak rambutku frustasi sambil berteriak sekencang-kencangnya.

"ARGHHHHHH!"

Aku menangis sederas-derasnya. Aku juga memukul-mukul wajahku tanpa rasa iba sedikitpun.

"GUE PENGEN MATI!"

"TUHAN, CABUT NYAWA GUE SEKARANG JUGA."

Aku terduduk lemas di jalanan yang sangat sepi dan juga gelap. Aku sendiri tidak tahu keberadaanku dimana sekarang, yang aku tahu aku sudah hampir mati.

Aku menelungkupkan kepalaku di kedua tangan yang ku taruh di dengkul. Aku menangis dengan histeris di sana.

"Gue benci keluarga, gue benci Elisa, gue benci Adam dan gue benci si Jalang," ucapku dengan lirih.

Aku bangkit kemudian mencari sesuatu disini, ku temukan sebuah batu besar di jalanan. Aku tersenyum miring kemudian mendekat ke batu tersebut. Aku mengambilnya dan menatapnya dengan dalam seperti orang depresi. Aku juga mengelus batu tersebut dengan sayang.

"Hai batu, lo bisa bantu gue nggak? Gue pengen mati loh," kataku diiringi senyuman jahat setelahnya.

Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum memecahkan kepalaku sendiri dengan batu yang ku pegang sekarang.

"Mati asik juga nih, bisa ketemu sama Tuhan di sana," kataku mulai menimang-nimang terlebih dahulu.

"Tapi nanti ngga bisa ketemu sama Pangeran Om lagi," air mata kembali membanjiri pipiku. Sesaat kemudian aku tersenyum miring, "bisa dong, ketemu di surga nanti sama Pangeran Om," kataku sambil tertawa jahat.

Aku mulai menggerakkan batu tersebut ke atas kepalaku dan mulai memukulnya secara pelan terlebih dahulu dan lama kelamaan semakin menjadi tetapi belum mengeluarkan darah.

"Annetha," aku menghiraukan suara itu. Aku kembali melanjutkan aksiku. Sesaat kemudian tubuhku serasa di peluk seseorang. Orang itu mengambil alih batu yang ku pegang dan aku mencoba mempertahankan batu itu tetapi tidak bisa, tenaganya jauh lebih kuat di bandingkan tenagaku.

Dia membalikkan tubuhku menjadi menghadapnya. Dia memeluk sambil mengelus bahuku. Aku terkekeh geli melihatnya.

"Kak Dito, biarin gue mati," ucapku di iringi kekehan. "Kalo gue mati pasti gue bakalan bahagia," lanjutku.

Dia menggeleng kemudian menangkup kedua pipiku, "kalo lo mati, lo ngga akan bahagia dan arwah lo pasti penasaran," katanya.

Aku juga menggeleng, "biarin, biar gue bisa balas dendam sama tuh jalang!" Ucapku.

"Lo ngga bisa kaya gini, lo pulang ya."

Aku terkekeh lagi, "pulang kemana? Gue anak yatim loh!"

Brak

***

Terlihat disana Annetha sedang berbaring lemas di atas ranjang  ruangan yang bernuansa putih. Dia pingsan kemarin karena tubuhnya terkena benturan keras di kepalanya karena dia memukul batu tersebut terlalu keras.

Terdapat perban putih yang bertengger di kepalanya dan juga terdapat jahitan di sudut bibirnya.

Suasana di kamar tersebut cukup hening, yang ada hanyalah suara mesin yang berbunyi 'tit' 'tit' 'tit'

Di ruang tunggu sudah ada Elisa, mamahnya yang terlihat khawatir dengan kondisi anaknya. Tidak sendirian, disana juga sudah ada beberapa pembantu yang selama ini dekat dengan Annetha.

Ardito, Zein, dan orang tua mereka juga sudah berada di ruang tunggu. Dari raut wajahnya, terlihat jelas jika mereka semua khawatir dengan kondisi Annetha yang di bilang cukup parah akibat benturan keras di kepalanya.

Mamah Zein mengusap-usap lengan suami sirihnya dan mencoba menenangkan suaminya yang merasa bersalah. Elisa hanya bisa di tenangkan oleh para pembantu yang juga lumayan dekat dengannya.

Ardito dan Zein menangis tetapi tidak berteriak karena mereka lelaki. Ardito sangat khawatir dengan keadaan Annetha, bahkan orang tua Ardito pun ikut menangis.

Tidak lama setelah itu, muncullah seorang dokter yang baru keluar dari UGD tempat dimana Annetha sedang berjuang.

"Keluarga pasien?"

Papah dan juga Mamah Annetha mengangkat tangannya. Dokter tersebut mendekat ke arah mereka, "keadaanya mulai membaik dan dia akan di pindahkan ke ruangan rawat inap," kedua orang itu mengangguk dan mengucapkan terimakasih kepada dokter tersebut.

Sebuah brankar lewat di depan mereka dan terlihatlah Annetha dengan wajah pucat dan perbannya. Matanya masih tertutup dan dia juga belum sadar.

MAWAR 03

Disitulah Annetha berbaring sekarang. Perlahan jari-jarinya mulai tergerak dan dia membuka matanya secara perlahan.

Dia menatap sekeliling dan ruangan tersebut terasa asing di matanya. Dia melihat seorang suster yang sedang membershikan sesuatu di atas nakas.

"Suster," panggilnya dengan lirih. Sang suster menoleh ke arahnya dengan senyuman, "kamu sudah sadar, ada yang bisa saya bantu?" Tanya suster tersebut.

"Minum," katanya. Sang Suster mengangguk kemudian meyuapkan Annetha air minum dengan sendok karena kondisi Annetha yang masih lemah.

"Saya keluar dulu," pamit suster tersebut. Annetha mengangguk kemudian suster tersebut pergi dari hadapannya.

Annetha kembali mengingat Pangeran Omnya, dia sangat rindu dengan Pangeran Om.

'Ceklek'

Pintu ruangan Mawar 03 terbuka dan terlihatlah 7 orang yang masuk ke dalam ruangannya. Annetha mendengus kesal melihat rang yang dibencinya ikut masuk juga.

"Anak Mamah udah enakan?"

Annetha hanya diam tanpa membalas ucapan Mamahnya sedikitpun. Dia juga benci dengan Mamahnya.

"Tante minta maaf," mamah Zein mulai membuka pembicaraan dengan Annetha, "Tante salah dan Tante akan segera bercerai dengan Papahmu, Tante harap setelah ini kalian akan bahagia."

Annetha hanya diam tanpa ekspresi apapun. Intinya dia akan terus membenci dan tidak akan memaafkan orang yang sudah menyakitinya. Dia tidak ingin menderita lagi setelahnya.

"Papah juga minta maaf Neth, Papah udah sering banget nyakiti kamu."

Lagi-lagi Annetha hanya diam tanpa menjawab sepatah katapun. Dia terlalu benci dengan mereka.

"Gue anak yatim dan gue ngga punya Papah! Papah gue udah mati sejak gue kelas 5!" Ucapnya dengan penuh penekanan. Dia memilih untuk memejamkan mata setelah itu.

Kenapa setelah membenci semuanya baru kembali?

BAWA AKU KE PLUTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang