"Kamu ikut mamah ke pengadilan sekarang ya Nak," aku mendengus kesal sebab sekarang masih jam pelajaran sekolah, "aku lagi sekolah!" Ucapku ketus.
"Kamu harus ikut Neth, Papah kamu sudah menunggu di sana!" Ajaknya dan lebih tepat paksanya.
Aku menatap wanita di depanku ini dengan perasaan kesal, "kalo mau cerai ya cerai aja, ngga usah bawa-bawa aku dong!" Ucapku pelan dengan penuh penekanan karena takut jika guru yang sedang mengajar di kelasku mendengar nantinya.
"Tapi ini permintaan Papah kamu sendiri Neth, kamu ikut Mamah ya."
Aku menarik nafas panjang kemudian mengangguk secara terpaksa. Aku masuk ke dalam kelas untuk mengambil tasku terlebih dahulu. Ika sedari tadi menatapku dengan prihatin karena Stalker hebat sepertinya sudah tahu mengenai masalah yang ku alami selama ini.
Aku mencium punggung tangan guru yang sedang mengajar di kelasku dan Mamahku juga sudah minta izin kepadanya. Aku melirik Ika sekilas kemudian dia tersenyum hangat untuk menyemangatiku.
Aku berjalan terlebih dahulu barulah Mamahku mengikut dari belakang. Saat kami hendak berjalan beriringan, aku memilih untuk mempercepat langkahku karena aku tidak mau berjalan beriringan dengannya.
Saat di tengah lapangan, kebetulan sekali kelas Zein sedang jam pelajaran olahraga dan mereka juga sedang beristirahat di lapangan. Zein yang melihatku berjalan melewati lapangan langsung mendekat ke arah kami berdua.
"Annetha,"
Aku sempat menoleh dan itu hanya sekilas. Berbeda dengan Mamahku yang langsung menatap Zein seperti mengintrogasi.
"Hai Tante, saya Zein Anggara."
"Saya Mamahnya Annetha."
"Mamahnya cantik pantes anaknya juga cantik."
Aku menoleh kebelakang dan melihat mereka dengan perasaan sebal. Aku menghampiri kedua orang tersebut lalu menarik tangan mamahku tanpa berkata apapun kepada mereka. Saat sudah lumayan jauh, aku langsung melepaskan cekalan itu kemudian masuk ke dalam mobil sport berwarna putih dan menutup pintu tersebut dengan membantingnya.
"Itu pacar kamu?" Dia mencoba membuka pembicaraan denganku tetapi aku hanya mengangkat bahu acuh karena malas berbasa-basi dengannya.
"Kamu marah sama Mamah?" Lagi-lagi aku hanya mengangkat bahu acuh. Menurutku pertanyaanya tidak perlu lagi dijawab karena jawabannya sudah jelas 'iya.'
***
Saat ini aku sedang berada di kursi paling tengah dan tepat berada di depan hakim. Aku hanya memasang wajah datar saat hakim tersebut menatapku dari atas hingga ke bawah.
"Baiklah kita mulai."
Terdengar suara ketukan sebanyak tiga kali. Aku hanya acuh mendengarnya dan juga sudah siap menjawab pertanyaan yang di lontarkan oleh hakim tersebut nantinya sebab aku sudah search terlebih dahulu.
"Apa alasan kalian berdua bercerai? Bukankah sang anak sudah berumur 16 tahun?" Tanya sang hakim memulai pembicaraan.
"Udah ngerasa ngga cocok" jawab mereka berdua serempak.
"Adakah di antara kalian yang sudah menikah lagi?"
Mamah menunjuk Papahku, "dia sudah menikah sirih dengan wanita lain."
"Tetapi saya menikah karena kamu sibuk dan tidak punya waktu untuk kami berdua!"
Sang hakim mengangguk kemudian melirikku, "apakah papahmu sudah menikah lagi dan Mamahmu dulunya sibuk?"
Aku menatap sang hakim dengan datar, "bukan urusan saya," jawabku enteng tanpa takut sedikitpun.
"Jika disuruh pilih, mau ikut Mamah atau Papahmu?" Tanya Hakim tersebut.
"Mau ikut siapa aja juga bisa, toh tinggal sama siapa aja juga yang ngurusin kan tetap pembantu," jawabku dengan sinis.
"Jadi selama ini diantara mereka siapa yang paling dekat denganmu?"
Aku mulai mengingat-ingat kembali, "pembantu," jawabku dengan polosnya walaupun pembantu tidak termasuk kategori dalam pilihan tersebut.
Sang hakim tampaknya sedang berbincang-bincang dengan orang di sebelah kanan dan kirinya. Mereka bertiga tampak sedang berdiskusi. Aku hanya menyilangkan kedua tanganku di dada dengan angkuh.
"Pilihannya ada pada kamu, kamu mau pilih Ibu atau Ayahmu?"
Aku mengangkat bahu acuh karena tidak tahu harus menjawab seperti apa karena menurutku keduanya sama saja dan tidak ada nilai lebih untuk mereka berdua.
"Kamu ikut Papah saja, nanti akan Papah berikan barang-barang mewah yang kamu inginkan," aku melirik sekilas orang yang ku panggil Papah tanpa menjawabnya.
"Mamah juga sering membelikan kamu barang-barang mewah, lebih baik kamu ikut dengan Mamah saja,"
Aku mendengus kesal melihat orang tua yang selalu memandang kebahagiaan hanya dari harta, "Hidup bukan tentang uang, tapi hidup adalah tentang kasih sayang dan kesetiaan. Sudah 6 tahun saya menderita karena kalian berdua dan menurut saya tinggal bersama siapa saja itu sama dan tidak ada yang membedakannya, toh yang sayang sama saya cuma pembantu bukan kalian kan? Saya tidak ingin ikut sidang seperti ini lagi karena kalian berdua tidak memiliki nilai plus sedikitpun di mata saya yang ada hanya nilai minus," ucapku dengan tegas. Air mata mulai membasahi pipi halusku. Aku segera bangkit kemudian pergi dari ruangan serba putih ini. Aku keluar dan memberhentikan taksi yang ke betulan lewat di jalan itu. Aku membenci mereka yang hanya memandang segalanya berdasarkan uang bukan kasih sayang.
'Jangan lupa dateng ke acara ULTAH gue dede emeshh.'
Memiliki uang yang banyak bukan berarti memiliki kebahagiaan yang berlimpah.

KAMU SEDANG MEMBACA
BAWA AKU KE PLUTO
Fantasy"Bawa aku ke Pluto" ucapnya dengan nada lirih diiringi air mata. Tiba-tiba terdapat sebuah cahaya yang menyilaukan indra pengelihatannya, "Portal?" Ucapnya tidak percaya. Menurutnya portal hanya ada di dunia fantasi, bukan di dunia nyata. Dengan pen...