Malam ini rasanya begitu aneh. Aku bukan penderita insomnia yang harus minum obat tidur seperti orang-orang kaya di dalam drama. Biasanya, tepat pukul sebelas aku akan berada di alam mimpi meskipun pekerjaanku menumpuk.
Yeah, biasanya. Sekarang, saat jam di kamarku menunjukkan pukul dua malam pun, aku masih saja terjaga. Aku mengantuk, tapi enggan tidur. Mataku nggak mau terpejam sedetikpun sejak tadi.
Aku mengambil ponsel di atas nakas lalu mencari kontak seseorang yang berhasil merebut semua perhatianku dini hari ini.
Bawel
Bagaimana kondisi ayahmu?Aku menatapnya sebentar lalu menggeleng.
Bawel
Sudah tidur?"Apa-apaan?" kesalku sambil menghapus pesan tersebut.
Bawel
Tidur, jangan begadang.Aku menghapusnya lagi. Tolong, sepertinya justru aku yang begadang sekarang. Hhh, kenapa harus sesulit ini sih? Setelah menghela nafas cukup panjang, aku pun menatap layar ponsel kembali.
Bawel
Nanti pulang sama saya.
Saya mau jenguk ayah kamu.Terkirim.
♥
Entah untuk yang keberapa kali helaan nafas meluncur dari mulut Om Taeil pagi hari ini. Dia menatapku dengan ekspresi yang sulit aku deskripsikan.
"Kamu udah bertindak terlalu jauh, Doyoung. Dia cuma pacar bayaran, kan?"
"Ayolah, om, aku cuma antar jemput dia kok. Apanya yang terlalu jauh?" tanyaku balik.
Iya kan? Bukannya lumrah kalau kita mengantar pacㅡmaksudku rekan kerja berangkat dan pulang kantor? Apa salahnya?
"Cuma? Kamu CEO!"
"Lalu?"
Om Taeil mengusap wajahnya gusar. Selama kenal dia, nggak pernah sekalipun aku lihat raut sedepresi ini tergambar dari wajahnya. Ah, pernah. Saat papa hampir mati karena ulah Kim Kiㅡ
"Kamu mau kejadian papamu terulang lagi ke Rena?" tanyanya.
Oke, aku terdiam. Dua tahun lalu papa memang pernah jadi korban penusukan yang dilakukan dua orang suruhan Kim Kibum, musuh bebuyutan papa. Aku masih ingat betul bagaimana gilanya om Taeil saat itu. Om Taeil dan papa memang berteman dekat.
"Kemarin Joy datang ke rumahku, asal kamu tau," dia kembali bersuara. "Dia memberikan peringatan padaku. Kalau kamu masih seperti ini, dia bisa lakukan apapun pada Rena dan keluarganya."
"Jadi om Taeil menyuruhku putus dengan Rena?"
"Mengakhiri kontrak gila itu lebih tepatnya."
Aku tertawa mengejek. "Om mau melihatku menikah dengan Joy? Aku nggak sudi! Aku nggak mencintai dia, om."
"Dan kamu juga nggak mencintai Rena. Posisimu sama saja, Doyoung. Sadar nggak sih?"
Aku terdiam. Benar, ucapan om Taeil seratus persen akurat. Namun, egoku menolak semuanya mentah-mentah. Hati kecilku menolak membenarkan pernyataan om Taeil.
Pacaran dengan Rena jauh lebih baik daripada harus menikah dengan Joy, begitu egoku berbicara.
"Aku berangkat."