"Halo paㅡ"
"Ren maafin papa ya, malem ini papa mau nginep rumah Om Minho dulu."
Aku langsung membulatkan mata mendengar ucapan papa di seberang sana.
"Maksud papa? Di luar ujan deres, buruan pulang! Rena takut sendirian."
"Loh, kan ada Nak Doyoung."
Aku berdecak pelan. Pertama, aku yakin seratus persen papa masih ingat kalau aku nggak bisa tidur sendiri saat hujan. Kedua, coba tebak apa yang Pak Doyoung bayangkan kalau aku tiba-tiba minta ditemani? Maksudku...hei, rasa canggung akibat ciuman di dapur saja belum hilang, masa...
Ish!
"Pulang dong paㅡ"
"Hujan deres, Ren. Kamu mau papa tiba-tiba kecelakaan di jalan? Mobilnya masuk jurang? Kegelincir?"
"Papa ih!
"Ya makanya papa nginep di sini dulu. Lagian kasihan Om Minho sendirian di rumah."
Oh, Om Minho kasihan kalau aku nggak gitu? Anak papa siapa sih? Aku atau Om Minho?
"Yaudah terserah papa!"
Dan yeah, nggak ada alasan bagiku untuk berdebat lebih panjang. Papa kan batu, makin diterusin makin panjang urusannya.
Aku menatap jam di atas nakas. Setengah dua belas malam. Oke, sudah malam. Mari pikirkan cara terbaik agar aku bisa cepat-cepat terlelap.
Obat...Ouh, sial! Aku masih ingat kalau aku membawa obatku ke dapur. Sialannya, aku lupa membawanya ke kamar.
Pikirkan cara lain, pikirkan caraㅡ
Daaarr!
Aku memekik pelan mendengar suara petir di luar sana. Ish, masa bodoh! Aku harus melawan rasa takutku. Ayolah, aku cukup lari ke dapur, ambil obatnya dan hap! Telan! Aku yakin rasa kantukku pasti datang.
Ish, ngomong mah gampang. Prakteknya nih susah!
Aku menghembuskan nafas pelan, berusaha mengumpulkan segala rasa beraniku. Setelah lima detik, aku pun mulai berjalan menuju pintu kamar danㅡ
"Papa!"
Aku tersentak hebat saat seseorang hampir jatuh di hadapanku. Dadaku bergemuruh kencang, demi apapun!
"Na..."
"P-Pak Doyoung? Ngapain berdiri di depan kamar saya?" tanyaku bingung. Hampir jatuh pula!
"Ini..."
Tangan kiri Pak Doyoung menggaruk tengkuknya random, sedangkan tangan kanannya menyerahkan sebungkusㅡhei, itu obatku!
"A-Ah, makasih, Pak."
"Na," panggil Pak Doyoung sedetik setelah aku mengambil obatku. Matanya mengerjap polos, membuatku sedikit bingung. "Mau saya temani?"
●●
Hal paling menyebalkan di dunia adalah saat hati dan otak kalian benar-benar nggak bisa diajak bekerja sama. Otakku sudah dengan tahu dirinya memerintah untuk menolak, sedangkan hatiku bicara sebaliknya. Menyebalkan, bukan?Sialannya lagi, otak yang sudah aku sekolahkan lebih dari sepuluh tahun harus kalah dengan hati lemahku. Ini salah, tapi masih aku teruskan.
"P-Pak, saya nggak apa-apa tidur sendiri, daripada bapak tidur di bawㅡPAPAAA!"
Aku memekik keras saat kilat dan suara petir saling beradu di luar sana. Tanganku reflek mengangkat selimut hingga menutupi seluruh badan, sedangkan Pak Doyoung...Hei, dia tertawa?
Perlahan kuturunkan selimutku hingga terangnya lampu kembali memasuki mata. Dan yeah, Pak Doyoung memang tertawa pelan dengan posisi duduk di atas kasur lantainya. Tepat di samping ranjangku.
"Ternyata Om Kyuhyun nggak bohong tentang kamu yang takut petir."
"Papa cerita?"
Pak Doyoung mengangguk. "Dulu, waktu awal saya tinggal di sini. Makanya saya langsung lari ke kamar kamu saat dengar suara petir di luar."
Entah sadar atau setengah sadar, aku memiringkan tubuhku hingga bisa dengan leluasa menatap wajah tampannya. Oke, aku nggak akan munafik lagi. Pak Doyoung memang tampan.
"Terus kenapa cuma berdiri di depan pintu? Kenapa nggak ngetuk pintu gitu?" tanyaku. Pak Doyoung menatapku sambil menggaruk rambut.
"Saya takut kamu masih marah dengan saya. Saya tahu, dua hari belakangan sikap saya sedikit keterlaluan."
Aku terdiam, masih sambil menatap Pak Doyoung. "Saya nggak marah."
Benar saja, jawabanku berhasil membuat kernyitan di dahi Pak Doyoung terlihat. "Lalu kenapa kamu tiba-tiba lari saat saya meminta kamu tinggal bersama saya?"
"Ya itu..." Gila sih, Pak Doyoung beneran nggak peka atau cuma pura-pura? "Ya...perempuan mana pak yang nggak kaget kalau tiba-tiba diajak tinggal bareng? Apalagi baru sehari jadianㅡ"
Eh? Apa aku bilang? Jadian?
"Jadi kamu resmi menerima saya?"
"B-Bukan begitu!"
Di luar dugaanku, Pak Doyoung benar-benar tergelak di atas debaran gila ini. Sialan, kenapa dia jadi makin tampan?
"Maaf kalau saya terlalu buru-buru. Saya cuma mau kamu aman bersama saya."
Double sialnya, kenapa kalimatnya terdengar sangat manis? Hell!
"Saya...saya nggak bisa, Pak."
"Hm? Kenapa?" tanyanya sambilㅡShit! Kenapa tiba-tiba dia menggenggam tanganku? Kenapa tangannya sehangat ini?
"S-Saya nggak bisa ninggalin papa sendirian di sini."
"Kalau begitu ajak saja Om Kyuhyun. Saya nggak keberatan sama sekali."
Aku hampir menggeram saat tangannya mengusap telapak tanganku pelan. Bukan karena kesal apalagi sakit. Ini enak, sialan.
"Papa nggak bakal mau pergi dari rumah ini, Pak. Banyak kenangan yang papa dan almarhum mama lewati di sini."
Yeah, aku nggak sepenuhnya bohong. Kalau papa nggak pergi, aku nggak akan pergi. Sesederhana itu.
"Berarti kamu harus siap-siap," lirihnya. Aku mengernyit.
"Buat?"
Pak Doyoung menyentuh dahiku yang sedikit panas lalu mengusapnya. "Karena saya yang akan tinggal di sini lebih lama. Memastikan kamu aman bersama saya."
●●
pusink ini napa ga kelar2 hmhmhn