Walau terkesan cuek dan nggak peduli dengan sebuah hubungan, aku tetap punya "cita-cita" untuk hubunganku di masa depan.
Pertama, aku nggak mau berpacaran dengan sahabat. Bagiku, sahabat tetap sahabat. Kalau harus naik level, mereka cuma bisa jadi keluargaku. Nggak lebih.
Kedua, aku kekasihku di masa depan harus bisa menerima segala konsekuensi, termasuk aku yang nggak mau pisah dari papa. Cuma papa satu-satunya yang aku punya, nggak berlebihan dong kalau aku ingin terus bersamanya?
Ketiga, aku mau kita menjalani hubungan yang sehat. Maksudku, kita harus saling menyukai. Itu baru hubungan, bukan?
Maka dari itu, aku menolak mentah-mentah ajakan pak Doyoung. Memintaku tinggal bersamanya? Berpacaran? Nggak, aku nggak mau.
Aku nggak punya perasaan khusus padanya, jadi buat apa?
"Dengkul lo masih sakit?" tanya Jeno. Aku menggeleng. "Yakin?"
"Yakin, Jeno. Udah hampir seminggu juga jatuhnya."
Yap, sudah satu minggu sejak kejadian bu Joy menendangku. Yang Jeno tahu hanya aku jatuh karena kebodohanku.
Dan yeah, sudah satu minggu pula aku nggak bertemu pak Doyoung lagi. Kita benar-benar putus sekarang. Putus komunikasi.
"Gue pingin banget nganterin papa pulang. Tapi gue harus pergi," katanya.
Hari ini papa emang dijadwalkan pulang dari rumah sakit setelah hampir dua minggu dirawat. Untunglah, kondisi papa jauh lebih baik dari sebelumnya.
"Urusan akademik lebih penting. Lo pikir gampang ketemu pak Taeyong?"
Yap, dosen linguistikku itu sibuknya bukan main. Beruntung si Jeno bisa mengatur janji dengan beliau.
Jeno menghela nafas lalu menepuk pundakku pelan. "Kalau ada apa-apa telfon gue."
Aku hanya tersenyum sebelum mengangguk.
🎄🎄
"Papa pelan-pelanㅡ"
"Papa sakit ginjal, bukan patah tulang," potong papa saat aku hampir menuntunnya memasuki rumah. Aku meringis. "Papa nggak apa-apa, Ren."
"Tapi papa belum seㅡ"
"Papa udah sehat. Apa papa harus salto biar kamu percaya?"
Aku tertawa mendengar pertanyaan papa. Salto? Nggak bisa, papa nggak bisa. Terhalang perut buncitnya. Haha.
Papa langsung duduk di sofa ruang tengah dengan santai. "Kangen rumah," katanya. Aku mengangguk. Percayalah, rumah sakit membosankan.
"Hari ini aku nggak kerja, jadi aku bisa nemenin papa seharian," ujarku sambil meletakkan tas pakaian papa di dekat pintu kamar.
"Ngomong-ngomong soal kerja," papa tiba-tiba bersuara. "Bos kamu kemarin datang."
Hah? Aku menatap papa nggak percaya. Bos? Bu Hani? Atau...
"Bos yang mana, pa?"
"Emang bos kamu ada berapa?"
"Dua. Cewek. Cowok."
"Ah, yang cowok."
Glek. Aku meneguk salivaku kasar. Di saat seperti ini aku berharap kalau aku punya bos laki-laki selain pak Doyoung. Tapi...siapa lagi kalau bukan dia?
"K-Kenapa pa?"
"Katanya mau main catur di rumah."
"Hah? Catur?"
"Iya, catur. Jarang loh anak muda suka main catur. Jeno aja nggak bisa, makanya papaㅡ"
Jawaban papa terputus karena ulah seseorang yang menekan bel rumahku dua kali. Aku mengernyit, heran dan takut. Maksudku, jangan bilang...
"Itu pasti dia. Buka pintunya sana, Ren."
"Kok Rena?"
"Masa papa?"
Oke, aku masih belum bisa memahami situasi ini. Bosku mengunjungi papa ke rumah sakit, bilang kalau dia suka catur dan akan datang kesini untuk bermain catur. Maksudkuㅡ
"Hus, jangan ngelamun!"
Aku tersentak karena suara papa. Setelah sadar, aku pun bergegas pergi ke depan pintu laluㅡklek. Aku membuka pintuku sedikit dan...yeah. Dia wajah yang aku kenal.
"Ini saya," katanya. Aku masih mengerjap sambil mengintip dari balik pintu.
"B-Bapak ngapain kesini?"
"Buka dulu."
Aku patuh. Perlahan kubuka pintu rumahku dan sosok pak Doyoung yang tampil berbeda langsung menyapaku tanpa permisi.
Galak banget, jadi takut sendiri.
"B-Bapakㅡ"
"Mas Doyoung udah nyampek?"
Papa bersuara dari belakang tubuhku. Entah siapa yang memulai, pak Doyoung langsung membungkuk sambil menyalami papa dengan sopannya.
Lah, mereka kapan kenal coba?
"Selamat siang, om."
"Siang juga. Ren, bosmu ini jago banget main catur. Papa aja sampai kalah berkali-kali," curhat papa.
Aku menatap pak Doyoung yang juga tengah menatapku. Tatapannya masih datar walau nggak sedingin sebelumnya.
Fokusku kembali jatuh di satu titik. Bukan di matanya, bukan di wajahnya, tapi pada-sebuah-barang-yang-dia-tarik-di-belakang-tubuhnya.
"B-Bapak bawa apa?" tanyaku sambil menunjuk koper di belakangnya. Ya, aku nggak salah lihat. Itu memang koperㅡ
"Dia mau tinggal sementara waktu disini, Ren, biar papa ada temen main catur. Asik kan?"
"HAHHH?!"
🎄🎄
sebuah keabsurdan yang nyata....