"Mau kemana?"
Aku tersentak mendengar suara Pak Doyoung di belakang tubuhku. Begitu membalikkan badan, rasa kagetku bertambah dua kali lipat.
"B-Bapak kenapa nggak pakai baju?!" pekikku sambil menutup mata dengan telapak tangan. Aku bisa mendengar Pak Doyoung terkekeh pelan. Dan aku juga bisa merasakan kalau dia berjalan mendekatiku.
"Habis jogging sama Om Kyuhyun. Gerah."
Sialan, suaranya yang kelewat santai membuat jantungku makin berpacu gila-gilaan.
"S-Saya pergi dulu."
"Tunggu." Dan yeah, dia langsung menahan tanganku tanpa permisi. Aku reflek memejamkan mata, takut ternodai. "Kamu belum jawab pertanyaan saya."
"A-Apa?"
"Buka mata dulu."
"Ha? Ng-nggak mau."
"Kenapa? Mikir aneh-aneh kamu?"
"Nggaklah!" selaku cepat. Dia terkekeh lagi.
"Kalau begitu buka matanya. Saya mau bicara."
Karena nggak mau dikira punya pikiran aneh, akupun membuka mataku cepat-cepat. Tentu saja, aku langsung menatap matanya, nggak mau menatap yang lain. Gzzz.
"M-Mau ngomong apa? Saya buru-buru, mau berangkat kerja."
Diamnya Pak Doyoung yang juga sambil menatapku datar itu membuatku makin mati kutu. Apalagi tangannya yang masih saja setia mencengkeram pergelangan tanganku buat perasaan ini makin nggak bisa berkutik.
"Saya kan sudah bilang kemarin. Berhenti bekerja."
Suara dan wajah super dinginnya itu nggak berhasil membuatku takut. Sebaliknya, aku justru menatapnya heran sambil menyatukan kedua alisku.
"Maksud bapak?"
"Berhenti bekerja, Na. Fokus kuliah, Om Kyuhyun. Dan saya."
Aku terdiam beberapa detik sambil mencerna segala ucapannya. Seorang Kim Doyoung yang merupakan bos besar di perusahaan menyuruh karyawan rendahan untuk berhenti bekerja. Alasannya? Tunggu. Alasannya nggak masuk akal.
"Bapak? Kenapa saya harus fokus sama bapak?"
"Karena saya kekasih kamu. Satu lagi. Berhenti panggil saya bapak. Saya bukan bapak kamu."
Aku menggeleng. "Nggak, saya nggak bisa. Saya harus kerja, Pak."
"Doyoung."
"Ha?"
Pak Doyoung menghela napas pelan. "Panggil saya Doyoung. Saya nggak suka kamu panggil bapak. Ini bukan kantor."
Astaga, masih sempat-sempatnya manusia ini membicarakan hal yang yeah, terdengar sepele bukan? Hanya masalah panggilan kan?
"Oke. Dengar Kim Doyoung. Saya nggak bisa berhenti bekerja. Saya ini tulang punggung keluarga. Papa saya masih harus berobat. Sayaㅡ"
Sialan! Aku dibuat tersentak saat Pak Doyoung dengan lancangnya menarik tanganku hingga dada telanjangnya hampir menubruk tubuhku. Sialan, sialan! Aku berharap papa nggak tiba-tiba datang ke dapur lalu menyaksikan adegan konyol ini.
"Saya bisa berikan semuanya, apapun yang kamu mau. Uang kuliah, uang belanja, uang untuk pengobatan Om Kyuhyun. Apapun, Na. Milikku jadi milikmu sekarang."
Aku mencoba untuk tetap berpikir logis di tengah-tengah kegugupan gila ini. Ayo berpikir, Na. Berpikir.
"Mana bisa milikmu jadi milikku?" tanyaku tanpa menatapnya. "Aku cuma pacar, Kim Doyoung. Bukan istri."
"Naㅡ"
"Maaf," potongku sambil melepas cengkerman tangannya. Huft, aku kembali menghela napas berat.
●●
Sarapan pagiku hari ini adalah tatapan aneh seluruh penghuni kantor. Mata mereka terus bergerak mengikuti kemanapun aku pergi. Bibirnya...aku tahu mereka membicarakanku. Tapi kenapa?Aku memasuki lift yang sepi, hanya ada dua orang karyawan berpakaian sedikit terbuka dan...mataku membulat. Gila, apa sudah selama itu aku nggak melihat dia? Rasanya sedikit aneh.
"Mbaknya mau masuk nggak? Jangan bengong di sana!" sentak salah satu karyawan ber-blazer merah. Aku tersadar lalu memasuki di depanku tersebut sedikit canggung.
Aku berdiri di depan dua karyawan tadi, tepat di samping seseorang-yang-rasanya-sudah-lama-aku-hindari. Yeah, panggil saja Jeno.
"Sst, gue baru sadar deh. Dia cewek yang ada di foto kan?"
"Nah makanya, gue familiar."
Aku yakin kalau telingaku masih berfungsi dengan baik. Dua karyawan di belakangku sedang membicarakan aku?
"Gila sih, udah disosor Pak Doyoung di jalan, terus dibawa ke ruangannya. Dibayar berapa ya?"
"Lo mah, cewek mana yang nggak mau sama Pak Doyoung? Gue aja nggak dibayar juga mau. Apalagi manusia rendahan."
Baru saja ingin mengucapkan sumpah serapah, lift di depanku tiba-tiba terbuka. Sekali lagi, aku dibuat tersentak saat seseorang menarik tubuhku keluar, sedikit kasar.
"Jen, mau kemana? Ini bukan kantinㅡAw!"
Aku mengusap dahiku yang terasa nyut-nyutan gara-gara Jeno. Tuhan, kenapa dia suka berhenti mendadak sih? Apa dia nggak sadar kalau punggungnya itu nggak beda jauh sama batu?
Jeno melepas cengkeramannya lalu membalikkan badan hingga mata kami bertemu. Dia menghela napas berat sebelum bertanya, "Itu bener lo?"
Aku mengernyit. "Itu apaan?"
"Lo beneran nggak tahu?" tanyanya. Aku berpikir sebelum menggeleng. Jeno mendesah frustasi sambil merogoh saku celananya. Dia kenapa sih? "Ini."
"Apaan sihㅡ"
Aku terhenyak begitu melihat layar ponsel Jeno. Mataku membulat beberapa detik setelah membaca deretan kalimat di sana.
Inilah Potret dan Video Kemesraan CEO Kim Grup, Kim Doyoung Bersama Kekasihnya!
Aku buru-buru merebut ponsel Jeno. Dan kalian tahu? Judul yang aku baca nggak ada apa-apanya dibanding apa yang aku lihat di bawahnya.
Di sana ada fotoku dengan Pak Doyoung. Sedang berciuman, di pinggir jalan. Yang lebih membuatku kaget...kenapa ada video Pak Doyoung sedang menggandengku memasuki ruangannya? Aku yakin, video itu diambil dari CCTV kantor.
Maksudku...hei, siapapun yang melihat video itu pasti akan memikirkan hal yang sama. Kenapa mereka ada di kantor yang sepi? Malam-malam? Berduaan? Sambil bergandengan tangan? Masuk ke ruangan seorang CEO yang sangat sangat privat?
Aku terdiam. Marah, malu, kesal. Siapa penyebar semua ini? Kenapa diaㅡatau mungkin merekaㅡmenyebarkan foto dan video sialan itu? Kenapa harus aku?
"Ren, itu bukan lo, kan? Bukan, kan?"
Jeno menggoyangkan tubuhku sedikit kasar, sedangkan aku hanya mampu terdiam.
"Jen, bawa gue."
"Ha?"
Aku menatapnya dengan mata berairku. "Bawa gue ke manapun, Jen! Gue nggak mau ketemu orang-orang di kantor. Gue...nggak mau ketemu Doyoung."
●●
buruan end ayo hzzzz