Aku mengusap rambutku kasar. Tiga kaleng bir di depanku belum bisa membuatku mabuk. Sialan, kalimat Om Taeil kembali bergerilya di kepalaku.
"Untuk kali ini kamu harus pergi ke Jepang. Demi Tuhan, Doy, aku tahu kamu sekhawatir itu dengan Rena. Tapi ini pekerjaanmu! Jangan abaikan pekerjaanmu hanya karena wanita!"
Aku mendengus. Rena bukan cuma "hanya." Kejadian tempo hari saja masih sangat membekas di otakku, apalagi di otak Rena. Terlebih Joy masih belum ditahan. Ini membuatku gila.
"Nak Doyoung? Kok belum tidur?"
Suara di belakangku berhasil membuatku tersentak. Om Kyuhyun menuruni satu persatu tangga sebelum menghampiriku, duduk di sampingku yang kosong. Aku tersenyum tipis.
"Doyoung bingung, Om."
Kini giliran Om Kyuhyun yang tersenyum. "Kalau bingung ya tanya, jangan minum beginian. Emang dia bisa bantu kamu jawab kebingungan kamu?" ujarnya sambil meraih bir dari tanganku. Aku diam tanpa perlawanan.
"Kalau begitu, Doyoung mau tanya ke Om."
Dia kembali tersenyum. "Tanya apapun, asal jangan bahasa Inggris. Om nggak bisa."
Jawaban Om Kyuhyun berhasil membuatku tergelak. Astaga, andai Ayahku selucu ini. Presdir Kim nggak ada menarik-menariknya sama sekali.
"Doyoung harus pergi ke Jepang minggu depan. Tapi Doyoung nggak mau Rena pergi dari pandangan Doyoung. Apa Doyoung harus ajak Rena ikut? Doyoung takut kejadian itu terulang."
Om Kyuhyun terdiam lalu mengusap tanganku lembut. "Harusnya Rena jadi tanggung jawab Om, Nak. Om yang salah di sini."
"Tapi Omㅡ"
"Kecuali kalau kamu suaminya, nah baru deh Rena tanggung jawab kamu. Kamu kan bukan suaminya. Jadi jangan terlalu merasa bersalah."
Aku terdiam. Ini Om Kyuhyun sedang menyindirku atau bagaimana? "Bukannya bukan, Om. Tapi belum," ralatku.
"Ya intinya kamu bukan suaminya, Nak. Jadi yang harusnya merasa super bersalah di sini ya Om."
Om Kyuhyun menatapku polos. Astaga, apa dia nggak tahu seberapa kesalnya hatiku sekarang? Masalah Jepang, belum lagi ucapannya yang selalu mengatakan kalau aku bukan suami Rena.
Ya...memang iya sih. Tapi aku berada di posisi ini bukan karena keinginanku.
"Doyoung sayang Rena, Om. Makanya Doyoung beri waktu Rena untuk lebih mengenal Doyoung. Doyoung nggak mau memaksa Rena untuk segera menikah," akuku.
Om Kyuhyun kembali tersenyum tipis. "Begitu Rena lulus langsung nikahi dia ya? Om nggak mau kalian kebablasan."
"Maksud Om?"
Dia mengusap pundakku lalu menepuknya pelan. "Pertama emang cuma cium di dapur, tapi nantinya? Yang kemarin Om maafin. Kalau sampai kebablasan awas aja kamu."
Mataku membulat. Astaga. Om Kyuhyun melihatnya?
"O-Om, maafㅡ"
"Kamu boleh pergi ke Jepang. Rena masih tanggung jawab Om. Jadi jangan terlalu khawatir. Oke?"
Aku terhenyak. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hanya mengangguk.
●●
"Na..."
Aku memeluk tubuhnya untuk yang kesekian kali. Rena tergelak sambil menepuk punggungku.
"Udah berangkat sana. Nanti ketinggalan pesawat."
Aku melepas pelukanku lalu menatapnya. "Aku berharapnya begitu."
"Ish, kamu ini!" kesalnya sambil menjitak kepalaku. "Cuma satu minggu, Doy. Jangan alay deh."