si brengsek

32.2K 6.1K 388
                                    

alhamdulillah masih hidup...

Selain benci jadi pusat perhatian, aku juga benci ketika harus berpikir. Maksudku, aku benci ketika ada sesuatu mengganggu otak. Terus memikirkan hal tersebut hingga jadi gila, sumpah aku membencinya. Sialnya, hari ini aku mengalami dua kebencianku. Jadi pusat perhatian dan menjadi gila karena pikiranku sendiri.

"Mulai detik ini, kamu milik saya. Dan mulai detik ini juga, kamu bebas miliki hati saya."

Apa maksud si arogan itu? Memiliki hatinya? Buat apa? Aku nggak butuh! Akㅡ

"Ren!"

Suara bariton di belakangku berhasil menghamburkan segala pikiran tentang Doyoung si arogan kelas kakap dari otakku. Rasanya tubuhku terlalu malas untuk merespon sentakan si pemilik rumah di belakangku ini. Aku menghela napas panjang.

"Apa sih Jenㅡ"

"Telurnya gosong!"

Panik, buru-buru kutatap teflon di depanku danㅡbenar! Telur dadar yang aku goreng sudah gosong nggak berbentuk. Sialan, sudah berapa lama aku berpikir?

"Jenoooo," rengekku. Sahabat karibku itu segera mematikan kompor lalu meletakkan teflon berisi telur gosong tersebut ke wastafel. Bunyi aneh langsung terdengar begitu air kran membasahinya.

"Lo kenapa sih? Mikirin Doyoung?"

"Ha?"

Jeno mendesah kasar. "Tadi pagi kantor heboh gara-gara kalian berangkat bareng. Sorenya lo minta izin ke Bu Hani buat pulang duluan. Sekarang lo nampung gitu aja di rumah gue. Kenapa? Menghindari bos kesayangan lo itu?"

Aku membatu mendengar kalimat Jeno. Tubuhku bahkan serasa mati rasa. Apa telingaku juga mulai kehilangan fungsinya? Aku salah dengar, kan?

"Maksud lo apa?"

Seringaian Jeno yang terukir di bibirnya itu berhasil tertangkap mataku dengan jelas. Sialnya, seringaiannya terlihat sangat menakutkan, sedikit menyebalkan.

"Gue tahu, Ren. Gue cuma tempat pelarian lo dari si brengsek Doyoung."

"Apaan sihㅡ"

"Gue udah cukup bersabar dengan nggak nonjok muka si brengsek itu. Berani-beraninya dia tinggal di rumah lo yang cuma pegawainya? Berani-beraninya dia ngajak lo pacaran?"

"Ini cuma kontrakㅡ"

"Tapi lo menikmatinya, kan? Jujur, lo senang, kan?" potongnya. Mata dingin Jeno yang nggak pernah aku lihat itu mendadak menusukku tajam. "Kalau iya, lo nggak ada bedanya sama dia."

***


Di malam yang belum terlalu larut ini, aku memutuskan untuk pulang menggunakan bus. Orang-orang terus menatapku aneh. Pertama, malam ini dingin dan aku nggak pakai jaket cukup tebal. Kedua, aku menangis sesenggukan di sepanjang jalan. Bayangan Jeno yang membentakku nggak bisa enyah dari otak bodoh ini. Sialan memang.

Begitu turun di halte, aku pun segera berjalan menuju rumah dengan langkah pelan ditemani muka sembab luar biasa. Beruntung, gang dekat rumahku cukup sepi dan gelap sehingga aku nggak perlu menyembunyikan muka ini dari orang lain. Tentu saja, aku bisa leluasa menangis lagi begitu mengingat sosok Jeno.

Demi Tuhan, selama mengenal Jeno, baru kali ini dia membuatku berlari sambil menangis dari rumah mewahnya. Bersyukur nggak ada orang tuanya di sana. Kalau ada, aku yakin mereka akan lebih membelaku ketimbang anaknya sendiri. Membentak, meninggikan suara, memfitnah pula. Jeno pantas dihajar Om Donghae.

Jeno sialan. Berani buat sahabat perempuannya menangis sesengguㅡ

"Hng?"

Aku bergumam pelan. Langkah kaki dan tangisku reflek terhenti begitu mataku menangkap sebuah pemandangan di depan sana, tepat di bawah lampu gang yang nggak terlalu terang. Sialan, mata sembab berhasil membuatku nggak bisa melihat dengan jelas siapa manusia itu. Apa dia orang mabuk? Orang mesum? Atau jangan-jangan...dia bukan orㅡtunggu!

"Kenapa berhenti di sana?" tanyanya sambil berjalan mendekatiku. Tanpa pikir dua kali, kuusap wajah mengerikan ini dengan tangan walau yeah, nggak akan mengubah apapun. Tetap sembab.

"P-Pak Doyoung jangan ke siㅡ"

Terlambat. Manusia itu udah lebih dulu berada di depanku dengan muka datarnya. Tch, apa hari ini hari sialku? Kenapa harus Kim Doyoung yang menemukanku menangis seperti ini?

"Kenapa kamu?"

"Bapak yang kenapa. Kenapa ada di sini maksud saya," kataku setengah bertanya.

"Om Kyuhyun bilang kalau di gang ini banyak orang mabuk."

"Terus?"

"Orang mabuk suka mengganggu perempuan cengeng."

"Siapa?"

"Kamu."

Aku berdecak. "Saya nggak cengeng! Cengeng itu kalau tiap hari nangis, drama queen. Sayaㅡ"

ㅡdibuat tersentak begitu Pak Doyoung menyampirkan jaket tebalnya. Mataku sontak menatap matanya, pun sebaliknya. Sedetik kemudian, bos besar ini memakaikan topi jaketnya ke kepalaku hingga setengah dari wajahku berhasil tertutup.

"Sembunyikan wajah berantakanmu itu."

"Sayaㅡ"

"Walau bisa menebak, kamu tetap punya hutang cerita ke saya. Saya nggak mau membuat perhitungan ke orang yang salah."

Kuangkat kepalaku hingga kembali menatapnya. Pak Doyoung menghela napas pelan sambil menarik resleting jaketnya hingga leherku.

"Mukamu benar-benar mengerikan sekarang. Jadi jangan menangis lagi."

Ajaibnya, bahkan setetes air pun nggak bisa turun dari dari mata basahku.

***

seribu bulan kulalui untuk update work ini astaga. miannnn:'

Om Doyoung✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang