tetap

26.4K 5K 207
                                    

Author

Jeno membawa Rena ke rumahnya. Yeah, dia nggak tahu lagi harus bawa sahabatnya yang tengah menangis itu kemana. Satu-satunya tempat teraman bagi Renaㅡmenurut Jenoㅡadalah rumahnya. Nggak ada lagi.

"Tiduran dulu aja, gue beliin makanan."

"Jen." Rena menahan tangan Jeno sebelum laki-laki itu benar-benar pergi. Mata sembabnya menatap Jeno cukup lama. "Gue nggak laper."

"Tapiㅡ"

"Jen."

Jeno mengalah. Diapun menarik kursi belajarnya lalu duduk di samping Rena yang tengah duduk di atas ranjangnya. Matanya menatap Rena lekat meskipun sang lawan bicara enggan membalas tatapannya.

Sesak, sakit, marah, sebal. Rasanya campur aduk. Jeno bahkan nggak bisa mendeskripsikan perasaannya sekarang. Terlalu rumit. Random.

Bagaimana bisa sahabat yang selalu ia jaga disentuh laki-laki lain? Satu fakta itu saja berhasil buat amarah Jeno naik ke ubun-ubun.

"Jen."

"Hm?"

"Maaf."

Jeno mengusap rambutnya frustasi. Jika Jeno bisa, dia ingin menghilangkan sedikit saja rasa pedulinya pada Rena. Hei, bagaimana bisa dia mampu menebak cerita selanjutnya hanya dengan mendengar kata maaf dari Rena? Terlalu peka. Terlalu peduli.

"Renㅡ"

Ucapan Jeno terhenti saat mendengar bel rumahnya berbunyi. Sekali lagi, sepertinya Jeno benar-benar sudah bisa menebak scene yang akan terjadi selanjutnya. Meski berat, Jeno berusaha mengalahkan egonya. Laki-laki itu bangkit, meninggalkan Rena yang terus memanggil namanya.

Helaan napas meluncur begitu saja dari mulut Jeno. Sedetik kemudian, tangannya memegang gagang pintu danㅡyeah, tebakannya tepat.

Di depannya, berdiri laki-laki yang sangat ingin Rena hindari. Kim Doyoung.

●●


Rena berdiri di depan cermin besar Jeno. Ini gila, bagaimana bisa nama Cho Rena jadi trending nomor satu di Korea? Bersanding dengan nama Kim Doyoung yang super populer dan beberapa artis terkenal lainnya? Ya Tuhan, Rena benar-benar frustasi sekarang.

Kalau Rena lupa bagaimana kerasnya hidupnya bersama Kyuhyun, mungkin perempuan itu nggak akan segan melempar ponselnya hingga remuk. Dia benci melihat wajahnya. Dia benci melihat berita tentang dirinya. Dia benciㅡ

Klek.

Pintu kamar Jeno terbuka. Si pemilik masuk dengan raut wajah seriusnya.

"Jenㅡ"

Dan yeah, mata Rena sontak membulat melihat sosoknya ada di belakang tubuh Jeno, menatapnya khawatir.

"Sepuluh menit. Setelah itu bapak boleh pergi," kata Jeno sebelum membiarkan dua tamunya berada di kamarnya.

Yah, Jeno nggak sekuat itu teman-teman. Setelah ini, mungkin dia akan menyesali keputusannya memberikan izin Doyoung untuk bertemu Rena.

Begitu Jeno menutup pintu, Doyoung perlahan mendekati Rena yang nggak berkutik barang seincipun dari tempatnya. Terlalu kaget. Terlalu mendadak.

"Pakㅡ"

Persetan, bagaimana bisa Doyoung menahan diri untuk nggak memeluk Rena di saat wanitanya tengah terpuruk seperti ini? Terlebih, penyebab keterpurukan Cho Rena adalah Kim Doyoung.

"Maaf. Maafkan saya," Doyoung mengusap rambut belakang Rena, membawanya ke dalam dekapannya yang hangat. "Semua salah saya."

Rena mencoba bertahan untuk nggak meneteskan air matanya. Cukup, dia terlalu sering menangis di depan Doyoung. Dia bukan perempuan lemah.

"Lepas, Pak."

"Nggak akan."

Rena mencoba mendorong tubuh Doyoung meskipun semuanya berakhir sia-sia. Pelukan laki-laki itu luar biasa kuat.

"Kim Doyoungㅡ"

"Na."

Sialan. Kenapa Rena harus bergetar hanya karena Doyoung memanggil namanya? Selemah itu kah dia?

"Bapak mau adegan kita sekarang tertangkap kamera lagi? Bapak mau saya dipermalukan lagi? Bapak mau saya dibenci orang lain lebih banyak?"

"Naㅡ"

"Andai malam itu bapak nggak mencium lalu membawa saya ke ruangan bapak, pasti semua ini nggak akan terjadi, kan? Andai malam itu saya nggak terbuai dan merasa bahagia, saya nggak akan ada di posisi ini, kan?"

"Rena, dengarkan sayaㅡ"

"Saya merasa hina sekarang. Berciuman dengan CEO, dituduh melakukan hal nggak pantas di kantor, dicap jalang karena merebut tunanganㅡ"

"Rena!" bentakan Doyoung berhasil buat Rena terdiam. Laki-laki itu segera melepas pelukannya lalu menatap Rena tajam. "Kamu bukan jalang."

"Lalu apa? Wanita bayaran? Manusia rendahanㅡ"

"Saya sayang kamu, Rena! Dan saya melakukannya dengan sadar! Ciuman itu, pelukan yang baru saja saya berikan dan semuanya! Kamu nggak pernah merebut saya dari siapapun. Sejak awal, saya milik kamu."

Shit, Rena mengumpat dalam hati. Sialan memang, kenapa masih sempat-sempatnya jantungnya berpacu cepat? Bohong kalau Rena nggak merasa melayang sekarang.

"Kalau saya bisa memutar waktu, saya akan tetap menghampiri kamu, mencium kamu lalu membawa kamu ke ruangan saya. Persetan dengan harga saham yang merosot dan pandangan orang-orang tentang perusahaan. Saya nggak menyesal, Na."

Rena memejamkan mata frustasi. Dia lupa soal itu. Saham, citra perusahaan dan tentu saja pandangan orang lain pada Doyoung. Kenapa dia hanya memikirkan dirinya sendiri? Kenapa dia begitu egois?

"Sudah sepuluh menit. Silahkan pergi."

Suara Jeno dari ambang pintu berhasil membuat Doyoung dua kali lebih frustasi. Di satu sisi dia masih ingin berada di sini, di sisi lain dia sadar jika kehadirannya bisa membuat Rena makin sedih. Sialan.

"Istirahat. Besok saya jemput kamu," kata Doyoung sambil mengusap rambut Rena. "Jangan pikirkan hal lain, oke?"

Rena hanya mengangguk. Kan, dia selemah ini.

Doyoung menghentikan usapannya sebelum beranjak menghampiri Jeno yang masih diam menatap tajam ke arahnya. Doyoung sadar, Jeno berhak marah. Dan Doyoung sadar, mungkin Jeno orang yang tepat saat ini.

"Titip Rena, jaga dia," ujar Doyoung. Jeno masih menatapnya datar, cukup lama.

"Tanpa bapak suruh, saya pasti akan menjaga Rena."

●●

ualaye yaAllah😭

Om Doyoung✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang