Rena
"Jeno!"
Nafasku memburu saat memasuki kamar papa. Peluhku berjatuhan karena harus berlari menaiki tangga dari kantin. Tapi...pemandangan Jeno yang sedang menyelimuti papa membuatku bingung setengah mati.
"Duduk dulu," katanya sambil menunjuk sofa dengan dagunya.
"Kata loㅡ"
"Duduk dulu, Ren."
Oke, aku mengalah. Begitu Jeno selesai mengurus papa yang udah tertidur, dia pun duduk di sampingku dengan wajah seriusnya.
"Kata lo papa kesakitan lagi?" tanyaku. Jeno menyeringai.
"Kalau gue nggak bilang gitu, lo nggak bakal lari kesetanan kesini kan?" tanyanya balik. Aku terdiam. Kalimatnya sedikit menohokku. "Gimana?"
"Apanya?"
"Doyoung."
Aku terdiam lagi. Bingung, kalimat apa yang pas untuk menjelaskan semua? Kalimat apa yang cocok untuk menggambarkan segala hal yang terjadi di kantin beberapa menit yang lalu?
"Rena, gue nunggu lo ngomong."
"Gue..."
Jeno menghela nafas berat lalu menatapku serius. "Lo lupa gimana Joy ngelabrak lo? Dia serius mengancam lo, Ren. Lo pikir dengan semua kekayaan yang dia punya dia bakal main-main?"
Aku terdiam dengan pandangan sedikit kosong. Pikiranku melayang ke kejadian semalam saat bu Joy datang ke rumahku dengan beberapa pengawalnya. Yeah, dia membentak, mengancam bahkan nyaris menjambakku habis-habisan. Untung ada Jeno disana. Kalau nggak, mungkin badanku udah babak belur detik itu juga.
"Nggak ada alasan buat melanjutkan kontrak gila itu, Ren. Kalau lo butuh duit, gue kasih."
"Jenㅡ"
"Oke, gue pinjemin. Lo bisa kembaliin kapanpun itu," potongnya cepat.
Aku menatap papa yang tengah tertidur lalu mengusap wajahku frustasi. Kenapa sesulit ini sih? Kenapa jadi sejauh ini?
"Jen."
"Hm?"
"Om Donghae bakal bantuin gue kan kalau gue keseret hukum?"
"Jelas, Ren."
Aku mengangguk pelan. "Semua udah selesai, Jen."
Sahabat karibku itu menghela nafas lega sebelum akhirnya memeluk sambil mengusap punggungku lembut.
"Gue jamin lo bakal aman sama gue."
Aku tersenyum lalu mengangguk lagi. Apa ini emang akhir dari segalanya?
🎄
"Jen, gue titip papa sebentar ya? Gue mau pulang dulu ambil baju ganti.""Gue anter."
"Nggak, nggak. Lo disini aja nunggu papa."
"Terus lo pulang sendiri? Bahaya, udah malem," katanya. Kau tergelak pelan.
"Masih jam tujuh, Jen. Gue nggak lama kok, begitu balik sini lo bisa langsung pulang."
"Ngapain gue pulang?"
Aku mengernyit. Pertanyaannya penting nggak sih untuk dijawab? Dia nggak butuh istirahat gitu setelah nunggu gue disini seharian? Emang agak aneh nih anak.
Oke, aku nggak mau berdebat lebih lama dengan Jeno. Bisa-bisa aku nggak pulang hanya karena mendengar celotehannya yang kadang terdengar berlebihan. Aku segera menepuk pundaknyaㅡtanda pamitㅡlalu pergi menuju halte tanpa mengindahkan panggilannya.
Di dalam bus pun aku cuma bisa diam sambil merenung. Maksudku, pak Doyoung benar-benar belum memberikan keputusan final tentang pembatalan kontrak. Salahkan Jeno yang tiba-tiba menelfonku dengan nada panik sambil menyuruhku untuk segera kembali ke kamar papa. Singkatnya, aku belum mendengarkan jawaban pak Doyoung.
Masalah ini makin nggak jelas. Dan aku sadar kalau aku terseret makin dalam.
Aku harus berjalan sedikit dari halte agar bisa sampai rumah. Nah masalahnya, malam ini jalanan terlihat sepi. Biasanya juga sepi sih, tapi rasanya nggak semencekam ini. Apa cuma firasatku? Semoga.
Aku memutuskan untuk mempercepat langkah kakiku. Selain makin seram, aku juga harus cepat-cepat kembali ke rumah sakit supaya Jeno bisa istiraㅡ
Pyar!
Aku memekik keras saat lampu di sisi kananku pecah. Nggak nggak, ini bukan kebetulan. Seseorang melempar batu kesana laluㅡ
"Argh!"
Erangan keras keluar dari mulutku saat seseorang menendang punggungku hingga aku tersungkur ke aspal. Gila, lututku rasanya perih setengah mati.
"Anjir siapa lo nendang gueㅡ"
Belum selesai aku berteriak, orang gila itu malah menjambakku hingga kepalaku terangkat. Nggak, bahkan tubuhku hampir tersungkur lagi gara-gara ulahnya.
"Memang jalang ya kamu!"
Mataku membulat. Rasa perih di kepala dan lututku berganti dengan keterkejutan yang luar biasa saat melihat bu Joy dengan para pengawalnya. Dia menatapku tajam, galak, penuh amarah, apa lagi? Intinya, dia menyeramkan.
"Lepasin!"
"BERANI KAMU MEMBENTAKKU?!"
"Ngapain juga saya takut? Saya nggak punya urusan sama iㅡ"
Bu Joy menguatkan jambakannya sampai aku harus memegang pergelangan tangannya. Gila, dia niat melepas rambutku dari ubun-ubun apa gimana sih?!
"Kamu bilang kamu akan putus sama Doyoung! Tapi apa? Kamu main-main denganku?!"
Aku mengernyit di tengah-tengah rasa sakitku. Hei, aku belum cukup pikun untuk melupakan kalau tadi siang aku udah memutuskan semua kontrak gila itu, tepat di hadapan pak Doyoung.
"Kita udah putus."
Bu Joy menjambak rambutku lebih keras sambil memegang leherkuㅡhampir mencekik. Gila, sakit jiwa nih orang!
"Doyoung sendiri yang bilang kalau kalian akan tinggal serumah! Itu yang dinamakan putus?!"
"Hah?!"
Aku mati-matian mencengkram pergelangan tangan bu Joy sambil mencerna ucapannya. Siapa? Siapa bakal tinggal serumah? Apa efek dari dijambak dan dicekik adalah ketulian sesaat?
Bu Joy melepasㅡlebih tepatnya menghempaskanㅡtubuhku hingga tersungkur untuk yang kesekian kalinya. Setelah itu dia berdiri sambil membersihkan tangannya dengan sapu tangan yang disiapkan pengawalnya.
Dia pikir aku barang haram apa?!
"Urusan kita belum selesai, jalang! Kamu tau kalau aku nggak akan main-main jika itu menyangkut Doyoung. Doyoung tunanganku dan kamu cuma tempat pelampiasan sesaatnya. Catat itu!"
Dia melempar sapu tangannya tepat ke mukaku lalu pergi begitu aja. Aku terpaku. Bingung, heran, sakit dan...takut? Entahlah, rasanya campur aduk. Nggak masalah kalau bu Joy cuma menggangguku. Tapi papa? Jeno?
Astaga. Ego pak Doyoung yang besar ditambah obsesi bu Joy yang membara membuat segalanya makin rumit. Dan sialnya, kenapa harus ada aku di antara mereka?
🎄
tenang, drama picisan ini nggak bakal lama kok, bentar lagi kelar...
dear fans joy, jangan dibawa serius yaa aku cuma pinjem nama ehehehe