"Bumi nggak punya ujung, Na. Maka dari itu kamu nggak akan bisa pergi ke ujung bumi. Maka dari itu pula aku bisa menemukan kamu di sini."
Jawaban yang Doyoung berikan berhasil buat Rena terhenyak sejenak. Selain fakta bahwa bumi nggak berujung, mungkin ada jawaban lebih tepat kenapa Doyoung bisa berada di depannya, menemukannya dengan cara yang nggak pernah ia duga.
"Tuhan tahu skenario terbaik untuk kita. Dan ya, ini jawabannya."
Gila. Apa Doyoung bisa baca pikiran? Bagaimana bisa kalimat yang ingin Rena dengar meluncur begitu saja dari mulut Doyoung? Gila. Ini gila.
Rena hanya bisa diam sambil menatap Doyoung yang tengah menatap laut lepas di depannya. Tangan Rena gatal ingin menarik lalu memeluk Doyoung seerat mungkin. Sayang, rasa takut yang ia miliki lebih besar dari rasa rindunya. Sialan memang.
"Maafin Ayah."
"Ha?"
Doyoung tersenyum sebelum tatapan mereka kembali bertemu. "Bagaimana bisa dia menyuruh calon menantu dan besannya pergi? Maaf ya. Presdir Kim kadang suka gila."
Rena menunduk, memilih menatap hamparan pasir di bawahnya. "Bukan Presdir Kim, tapi aku. Berani-beraninya menaruh hati pada bos besar? Harusnya aku tahu diri."
"Siapa yang kamu panggil bos besar?"
"Ya kamulah, Doy."
Doyoung tergelak setelah sedetik menatap Rena. Merasa ditertawakan, Rena pun mengangkat kepala lalu menatap laki-laki di sampingnya dengan alis menyatu.
"Kamu mau nggak punya suami pengangguran?"
"Ha?"
Doyoung tertawa. "Pasti nggak mau ya? Oke, nanti aku cari kerja lagi. Nggak apa-apa kan kalau aku mulai dari bawah?"
Rena sontak memutar tubuhnya supaya lebih leluasa menatap Doyoung. Kakinya maju selangkah, berusaha mencari arti tatapan Doyoung padanya.
"Kamu...nggak kan?"
"Apa? Dipecat dari CEO?" tanya Doyoung yang langsung dibalas anggukan Rena. "Nggak kok. Aku mengundurkan diri."
"Ha?!" Pekikan Rena berhasil membuat tawa Doyoung pecah. "Nggak lucu, Doy!"
Doyoung menggeleng dengan sisa tawanya. "Nggak nggak, muka kamuㅡNa!"
Benar saja, tawanya langsung terhenti begitu Rena berbalik meninggalkannya. Untung reflek Doyoung masih berjalan dengan baik. Tangan besarnya berhasil menahan tangan kecil Rena. Wajah konyolnya berubah jadi super serius.
"Maaf, Na. Janji, aku akan cari kerja biarㅡ"
"Kamu pikir itu penting?" Rena menghempaskan tangan Doyoung sedikit kasar sambil menatap tajam laki-laki di depannya.
"Pentinglah. Aku mau kasih kamu sama anak kita makan apa kalau nggak kerja?" tanya Doyoung polos. Rena mengusap wajahnya frustasi.
"Kamu mending pulang, minta maaf ke Presdir Kim. Bilang kalau kamu cuma bercanda."
"Tapi aku nggak bercanda," gumam Doyoung. Rena menggeleng.
"Kamu pikir kenapa aku sama Papa ada di sini? Terlepas dari permintaan Presdir Kim, aku mau kamu tetap ada di tempat kamu, Doy."
"Dan tempatku di sini, Na. Sama kamu."
"Doyㅡ"
"Hei," potong Doyoung sambil mengusap pipi Rena lembut. "Kita punya perasaan yang sama, bukan? Aku rasa itu udah lebih dari cukup, Na. Bahagiaku kamu, bahagiamu juga aku, kan? Jadi buat apa kita menyiksa hati kita masing-masing?"
Rena terdiam di bawah tatapan teduh Doyoung. Cukup lama sampai dia lupa diri. Cukup lama sampai tanpa sadar kepalanya mengangguk dua kali menanggapi pertanyaan Doyoung.
Untuk kali ini saja. Izinkan aku bersikap egois.
ㅡendㅡ
iya gantung bgt iyaaaa. buru2 aku akhiri biar ngga menjamur soalnya uda mau masuk kuliah, fokus skripsi hahahaa
terimakasih untuk berbulan2 yg sangat berfaedah ini.
sampai bertemu di om series berikutnyaaa