Rena
Aku terus menepuk punggung Doyoung lembut. Sudah hampir lima belas menit dia memelukku seerat ini. Posisi tubuhnya yang tadi berdiri menjadi duduk di ranjangku. Ini Papa sama Dokter Leeteuk nyasar di mana ya? Kenapa belum kelihatan batang hidungnya?
"Udah?"
Doyoung menggeleng sambil mengeratkan pelukannya. Kuusap kembali punggungnya pelan. Untung dia nggak ketiduran. Bisa panjang urusannya.
"Lepas dulu, ya? Kamu nggak capek apa?" tanyaku. Lagi, Doyoung menggeleng.
"Aku lagi nangis. Jangan lihat," jawabnya dengan suara bergetar. Aku tersenyum sebelum melepas pelukan kami. Dia sempat memberontak, namun usahaku akhirnya berbuah manis. Aku bisa menatap wajahnya sembabnya meskipun dia menunduk dalam, berusaha menyembunyikan semuanya dariku.
"Udah, jangan nangis lagi," kataku sambil mengusap pipinya menggunakan telapak tangan. Doyoung menggeleng dengan sisa air matanya.
"Maaf. Semua gara-gara aku."
"Kata siapa?"
Doyoung mengangkat kepalanya hingga mataku bertemu dengan mata sembabnya. Astaga, kenapa dia menangis sehebat ini?
"Kamu celaka gara-gara aku."
"Kata siapa, Doyoung?" tanyaku. "Ya...semua udah takdir Tuhan. Toh bukan kamu yang buat aku kayak gini. Tapi Joy."
Doyoung terdiam cukup lama sambil menatapku. Aku tersenyum sebelum mengusap rambutnya pelan.
"Na."
"Hm?'
"Andai waktu itu aku nggak suruh kamu tanda tangan kontrak. Andai saat itu aku nggak buang surat perjanjian kita. Andai malam itu aku nggak cium kamu dan bawa kamu ke ruanganku. Andai hari itu aku nggak ke Jerman..."
Aku tersenyum. "Maka kamu nggak akan ada di depanku sekarang," ujarku. "Tuhan itu baik, Doyoung. Nggak ada satu kejadian pun yang pantas kamu sesali."
Doyoung meraih tanganku lalu ia tempelkan di sisi kiri pipinya. Ia mengusap sambil sesekali mencium tangan itu. Matanya terpejam tanpa melepaskan tangannya dari tanganku.
"Na."
"Hm?"
"Aku ngantuk," katanya dengan mata terpejam. Aku bisa melihat kantung matanya yang kian menghitam. Astaga, berapa lama dia nggak tidur?
"Sini," kataku sambil menepuk sebelah ranjangku. Doyoung membuka mata lalu menatapku bingung. "Tidur sini. Katanya ngantuk?"
"Boleh?"
Aku tergelak pelan sebelum mengangguk. Setelah mendapat izin, Doyoung pun membaringkan tubuhnya di sampingku yang lebih memilih untuk tetap duduk lalu memeluk perutku erat. Kuusap pelan rambutnya dan yeah, nggak sampai satu menit dia pun tertidur dengan pulas.
Kim Doyoung dengan sejuta pesonanya telah kembali.
●●
Satu jam berlalu. Doyoung masih betah dengan posisinya, pun denganku yang masih betah mengusap rambut halusnya. Papa dan Dokter Leeteuk juga sepertinya betah ngobrol di luar sana. Kenapa nggak muncul-muncul sih mereka berdua?
Aku menatap wajah Doyoung yang terlihat sedikit pucat. Dahinya kadang mengerut dalam tidurnya. Mungkin mimpi buruk. Kepalanya kadang bergerak untuk mencari posisi ternyaman, tangannya juga bergerak untuk mengeratkan pelukannya di sekitar perutku.
Hari ini, aku kembali menemukan sisi Kim Doyoung baru.
Aku tersentak mendengar pintu di depanku terbuka. Bukan Papa. Bukan suster. Bukan Dokter Leeteuk.