bawel

41.7K 8.3K 1.1K
                                    

Makan siang bersama pak Doyoung benar-benar luar biasa. Satu, dia mengajakku makan di restoran VIP. Dua, selama di kantor, kami jadi pusat perhatian. Tiga, banyak wartawan di depan kantor. Untung pak Doyoung mengajakku lewat pintu belakang yang dijamin aman. Keempatㅡ

"Kita harus ubah sedikit kontraknya," kata pak Doyoung. "Dan kontrak itu berlaku mulai hari ini."

"Ha? Kok bisa, pak? Emang saya udah bilang oke?"

"Kamu harus bilang oke."

Aku memutar bola mataku kesal. "Emang apa yang mau diganti?" tanyaku. Pak Doyoung mengambil selembar kertas dari saku jasnya lalu menyerahkannya padaku.

Aku membacanya dengan seksama. Oke, nggak ada yang berubah kecualiㅡ

"Ha? Pulang pergi diantar? Maksudnya ke kantor?"

"Hm."

"Kok gitu?"

"Karena kamu kekasih saya."

"Kan di depan bu Joㅡ"

"Baca lagi."

Aku membaca ulang surat kontrak ditanganku. Poin satu, jadi pacar di depan Joy dan pubㅡPUBLIK?! Gila!

"Apa bedanya sama jadi pacar beneran, pak?" tanyaku.

"Beda. Kita tidak saling mencintai."

Ah, benar juga. Kita tidak saling mencintai. "Ada lagi, pak?"

"Surat kontrak ini bisa berubah sewaktu-waktu," jawabnya. Pak Doyoung menatapku dalam, tiba-tiba. "Saya rasa, Joy tidak akan berhenti disini."

"M-Maksud bapak?"

Pak Doyoung berdehem. "Cepat tanda tangan kontraknya. Tenang, ada bonus lagi karena kontraknya berubah."

Tanpa menunggu dua kali, aku pun langsung meraih pulpen yang telah pak Doyoung siapkan. Lihat kan, aku lemah hanya karena uang.

Sore ini pekerjaanku berakhir dengan lancar walau yeah, bu Hani sempat marah-marah karena patah hati. Ingat kan kalau bu Hani bucin garis kerasnya pak Doyoung?

"Awas aja ya kamu! Saya diciptakan untuk jadi pelakor!" katanya. Rebut aja bu, lagian pak Doyoung bukan laki saya.

Aku melepas apron dari tubuhku lalu menggantungnya di lokerku. Keluar dari ruangan ini, aku pun dikejutkan oleh keberadaan Jeno.

"Ayo pulang," katanya.

Tunggu. Jeno? Ini Jeno beneran Jeno, kan? Dia nggak marah lagi?

"Jeno..."

"Maaf."

Aku melengkungkan bibirku ke bawah. Tanpa canggung Jeno langsung mengusap rambutku pelan.

"Gue juga minta maaf, Jen."

"Nggak apa-apa. Gue juga emosi kemarin," katanya. "Lo...nggak bakal batalin kontraknya kan?"

Aku diam lalu menunduk. "Maaf, Jen. Gue pingin cari uang sendiri. Gue pingin obatin papa pakai uang gue sendiri. Gueㅡ"

"Ssst, okay. Sorry," potongnya. "Satu yang harus lo inget, Ren. Kapanpun lo butuh gue, gue akan selalu ada. Gue...masih sahabat terbaik lo kan?"

"Jelaslah, Jeno!" kataku sambil memeluknya erat. Jeno membalas pelukanku tak kalah erat. Disaat inilah aku merasa kalau Jenoㅡ

"Ehem!"

Aku refleks melepas pelukanku saat suara batuk super lebay terdengar indera pendengaranku. Dari suaranya sih, aku bisa menebak kalau...hm, sudah kuduga.

"Maaf, Jen. Nanti gue telfon ya. Gue harus pulang sama pak Doyoung," bisikku. Jeno nggak bertanya lebih jauh, namun perlahan dia melepas pelukannya.

Pak Doyoung memberikan isyarat agar aku mengikuti langkah kakinya yang super panjang dan cepat itu. Demi kegantengan pak Jaehyun, mungkin kaki ini bakal keseleo kalau aku pakai heels. Agak gila emang bos itㅡ

Dak!

"Aww!"

Aku merintih pelan saat jidatku ini bertabrakan dengan punggung lebar pak Doyoung yang tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Tolong, badannya terbuat dari apa sih? Keras banget!

"Saya sudah bilang kan kalau kamu kekasih saya di depan publik," katanya. Aku berdecak.

"Iya, bapak Doyoung yang terhormat. Jadi jangan berhenti dadakan, benjol ini jidat saya."

Tanpa kuduga, pak Doyoung meraih tanganku yang tengah menutupi jidat lalu memperhatikan jidatku dengan seksama.

"Tidak ada benjolan."

Pfft, aku hampir ngakak. Polos juga bos satu ini. Kalau uang perusahaan dikorupsi, dia bisa dikibulin nggak ya?

"Benjolnya di dalem," ujarku. Dia mengernyit.

"Butuh ke dokter? Takutnya kamu amnesia terus lupa dengan kontrak kita."

Haha, aku nggak bisa nahan kepolosan pak Doyoung yang sangat hakiki ini. "Bapak aneh."

"Kamu yang lebih aneh," katanya. Pak Doyoung mengambil ponsel dari saku celananya lalu memberikannya padaku. "Ini."

"Buat saya?"

"Ck, bukan!" kesalnya. Aku mengernyit. Ya Terus apaan coba? Lagian ngomong setengah-setengah? Emangnya aku cenaㅡ "Minta nomor."

"Ha?"

Pak Doyoung berdecak pelan. "Minta nomor ponsel! Saya tidak punya nomor kamu."

Ah, aku segera mengambil ponselnya lalu mengetik nomor yang udah aku hafal di luar kepala. Ck, bilang kek dari tadi. Udah minta, mintanya nggak baik-baik lagi.

"Nih pak," kataku setelah menyimpan nomorku. Tenang, namanya nggak aneh-aneh kok.

"Ren?"

"Ya kan nama saya Rena, pak."

Pak Doyoung nggak bicara lagi. Dia pun segera memasukkan ponselnya ke dalan saku lalu menatapku datar.

"Ayo pulang."

"Iya, bawel."

Aku berseru dalam hati.



semakin aneh dan tidak jelas...

Om Doyoung✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang