Aku terbangun sambil sedikit merenggangkan ototku yang terasa kaku. Astaga, jadi aku ketiduran di sofa ruang tengah? Bersama Kim Doyㅡ
"Hng? Dia kemana?" gumamku saat nggak merasakan kehadirannya. Setelah bangkit dan mengumpulkan nyawa, aku menatap jam dinding di atas tv. Masih pagi. "Doy?"
Aku berjalan menuju dapur. Nihil, dia nggak ada di sana. Toilet pun juga nggak ada. Kemana orang itu? Masa main catur sama Papa? Sepagi ini?
Mataku nggak sengaja jatuh pada satu titik di ujung sana. Pintu kamarnya terbuka. Lancang nggak sih kalau aku masuk tanpa permisi? Tapi...hei, kamarnya terbuka. Bukan salahku dong?
Aku berjalan mendekati pintu kamarnya. Kuketuk pintu tersebut dua kali sebelum akhirnya masuk dengan langkah pelan. Kurasa Kim Doyoung sedang mandi karena aku bisa mendengar suara shower dari toilet.
Mata dan kakiku bergerak menelusuri tiap jengkal kamar Doyoung. Ada beberapa fotonya dengan orang-orang bule. Kurasa dia pernah kuliah di luar negeri. Di seberang ranjang ada berbagai piagam yang pernah dia dapat semasa sekolah danㅡhei! Lomba menyanyi?
"Masuk kamar orang tanpa permisi, hm?"
Aku tersentak saat Doyoung tiba-tiba memelukku dari belakang. Jantungku hampir lepas dari tempatnya, serius.
"Gila kamu, Doy!"
"Kamulah yang gila. Masuk kamar orang tanpa permisi."
Doyoung mengerutkan pelukannya sambil meletakkan kepalanya di bahu kananku. Rambutnya yang masih sedikit basah membuat kaosku jadi ikut-ikutan basah.
Sialnya, aku malah super nyaman dengan posisi ini.
"Pintu kamar kamu buka gitu. Ngundang maling?"
Doyoung mengangguk. "Maling hati aku?"
Aku menjitak kepalanya pelan. Dasar tukang gombal! "Hari ini aku pergi ya."
"Hm? Ke mana?"
"Kampus, Doy."
"Weekend? Janjian sama cowok?"
Aku tergelak sambil mengangguk. "Ketemu dosen pembimbing. Beliau ada urusan di kampus, jadi sekalian aja."
Doyoung memutar tubuhku hingga mata kami bertemu. Dia menghela napas lalu mengangguk. "Nanti aku batalin janjiku sama Pengacara Changmin."
"Eh? Nggak, aku bisa ke kampus sendiriㅡ"
"No!" Doyoung menyela ucapanku. "Pergi denganku atau nggak sama sekali."
Aku menepuk jidatku pelan. Astaga, Kim Doyoung! Bukannya ini berlebihan?
●●
"Kamu tunggu di sini."
"Tapi Naㅡ"
"Doyoung." Aku menggenggam tangannya. Benar saja, dia langsung terdiam detik itu juga. "Aku nggak kemana-mana. Cuma mau ke dalam, bimbingan skripsi. Ya?"
Doyoung menghela napas berat lalu mengangguk. "Jangan lama-lama. Hubungi aku kalau butuh sesuatu. Aku tunggu di mobil."
Aku tersenyum sambil mengangguk. Setelah puas dengan adegan pamit yang sedikit dramatis, aku pun memasuki gedung fakultas lalu pergi menuju ruang Pak Seungcheol di lantai tiga.
Jadi memang benar kan kalau aku janjian dengan laki-laki? Setampan Pak Seungcheol pula. Astaga.
Bimbingan kali ini berjalan agak lama karena Pak Seungcheol merevisi hampir setiap lembar kertas di tangannya. Astaga, sepertinya aku terlalu banyak bucin. Skripsiku jadi sialan kayak gini.
"Temui saya secepatnya untuk menyerahkan hasil revisiannya."
"Baik, Pak. Terima kasih."
Aku keluar dari ruangan Pak Seungcheol sambil menghela napas super lega. Yeah, ganteng sih, tapi galak.
Kayak Doyoung.
Kampus siang ini terlihat cukup ramai meski sedang libur. Aku mendekati lift lalu menekan tombol tiga. Namun, belum sempat pintu lift terbuka, seseorang sudah lebih dulu menahan tanganku.
"Nak Rena?"
Jantungku hampir lepas dari tempatnya. Aku memegang dadaku pelan sambil menatapnya bingung.
"Ibu siapa ya?"
Dia tersenyum tipis sambil melepas tangannya di pergelangan tanganku. "Ikut saya sebentar ya, Nak."
Doyoung
Aku menatap jam tanganku gusar. Astaga, ini sudah lebih dari satu jam dan Rena belum kembali. Beberapa orang menatapku sambil berkasak-kusuk. Entah apa yang mereka bicarakan, aku nggak peduli. Yang ada di otakku sekarang hanya; di mana Rena berada?
Kusandarkan tubuhku di pintu mobil sambil memainkan kaki random. Tiga puluh satu tahun hidup, baru kali ini aku menunggu lebih dari satu jam hanya untuk seseorang. Bahkan aku nggak pernah melakukan ini untuk klienku. Rena yang pertama.
"Hayo ngelamun!"
Aku tersentak saat seseorang menepuk bahuku kencang. Si pelaku tergelak keras.
"Kaget, Na!"
"Iya iya, maaf."
Aku menatapnya sambil melipat tanganku di depan dada. "Ngomongin skripsi atau ngomongin masa depan? Lama banget."
Rena mengernyit danㅡboom! Tawanya pecah detik itu juga. "Gila, Doy!"
"Aku serius, Na. Mana ada bimbingan skripsi selama itu? Kamu udah janjian kan sama dosen kamu?"
"Udah, Doy. Namanya juga dosen, ada aja kerjaan. Mana revisian segunung," curhatnya. Aku menghela nafas lalu membukakan pintu mobil untuknya.
"Masuk dulu."
●●
"Bulan depan kamu ke Jepang ya?"
Aku mengunyah makananku lalu menggeleng. "Nggak jadi."
"Eh? Kenapa?"
Setelah menelan makananku, aku pun menatap Rena datar. "Kamu pikir aku bisa pergi setelah kejadian tempo hari? Kamu pikir aku gila?"
Rena mengerjap pelan sambil menatapku polos. "Kamu bisa pergi. Itu urusan penting kan?"
Sontak aku menggeleng. "Nggak. Aku akan suruh Om Taeil buat pergi."
"Tapi Doyㅡ"
"Na." Rena terdiam begitu aku menatapnya datar. "Aku nggak akan pergi lagi. Cukup, aku nggak mau kamu celaka untuk yang ketiga kalinya."
"Doyoung," panggil Rena, kali ini sambil menggenggam tanganku. "Jangan jadikan aku alasan buat kamu bertindak sejauh ini, okay? Perusahaan nggak peduli aku berhenti kerja. Tapi mereka butuh kamu, Doy. Jangan kayak gini."
Dia mengakhiri kalimatnya dengan senyuman tipis. Memang. Perusahaan memang butuh aku. Pasti. Tapi hei, aku bukan laki-laki bodoh yang akanㅡtunggu.
Dari mana Rena tahu kalau aku akan pergi ke Jepang?
●●
dari mana hayo