istigfar lagi...
Mungkin aku mulai gila. Atau mungkin si brengsek Doyoung ini mulai kehabisan akal. Otakku menyuruhku untuk berhenti melumat bibir manis Rena, sedangkan hatiku berkata sebaliknya.Otakku berkata; ini tempat umum! Berhenti mencium perempuan hanya karena nafsu! Sedangkan hatiku bicara; dia milikmu, Doyoung. Dan dia sedang marah. Kamu berhak melakukan ini.
Persetan! Kali ini maaf pada otak pintarku karena harus mengalah dengan hatiku. Bibir ini enggan berhenti menyesap bibir mungil Rena, apalagi perempuan di depanku sama sekali nggak memberontak.
Oh astaga, aku benar-benar harus menghentikan semuanya sebelum nafsu binatangku mengambil alih semuanya. Kulepas ciumankuㅡciuman kami lebih tepatnyaㅡsebelum menatapnya dalam. Napasku memburu, pun dengan napasnya. Dia menunduk, enggan menatap mata berkilatku.
"Na..."
"Pak, ini nggak benar."
"Ini benar, Na."
Rena menggeleng. "Nggak, Pak. Bapak tunangan Bu Joy. Sayaㅡ"
"Na." Kuangkat dagunya, berusaha mempertemukan mata kami. Aku mengusap bibirnya lembut sebelum bertanya, "mau ke ruangan saya?"
●●
Kubuka pintu ruanganku sebelum menyuruh Rena maㅡralat, sebelum menggandeng Rena masuk. Sekali lagi, dia nggak memberontak. Dia...bahkan membalas genggaman tanganku. Diam-diam, aku tersenyum tipis."Duduk dulu."
"Tapi Pakㅡ"
"Sst. Duduk dulu," kataku sambil mendudukkannya di singgasanaku. Di kursi CEO yangㅡaku yakinㅡjadi rebutan para petinggi perusahaan.
Aku menyandarkan tubuhku di meja, tepat di depan singgasanaku. Tepat di depan Rena. Perempuan itu sedikit mendongak agar mampu menatap mataku dalam. Bahkan di bawah sinar bulan yang nggak terlalu terang, aku masih bisa melihat mata beningnya.
Perlahan kusentuh keningnya yang tertutup sedikit poni. Rena hanya diam terpaku. "Kata Bu Hani kamu sakit."
Rena menggeleng meski aku tahu kalau dia berbohong. Keningnya memang hangat, cenderung panas. Perlahan kuturunkan tanganku ke mata polosnya, lalu kuusap lembut.
"Maaf. Jadi salah satu brengsek yang sudah buat kamu menangis."
Kali ini Rena terdiam sambil terpejam, merasakan tiap sentuhanku di matanya. Astaga, Kim Doyoung memang brengsek! Membuat mata seindah ini berlinang air mata. Brengsek!
"Harusnya aku nggak pernah membiarkan Joy masuk ruangan ini."
"Nggak, Pak," dia menggeleng sambil menahan pergelangan tanganku. "Saya nggak berhak mencampuri hubungan Bapak dengan Bu Joy," katanya sambil menatapku.
Sialan, Kim Doyoung! Kau membuatnya menangis lagi! Kudorong pelan kursi Rena sebelum mencondongkan tubuhku ke arahnya, memperpendek jarak di antara kami.
"Lalu kenapa menangis?"
"A-Apa?"
"Kenapa kamu menangis?" tanyaku. Rena mengerjap pelan sambil menggeleng.
"Saya nggak nangisㅡ"
"Bohong. Om Taeil lihat sendiri kamu keluar dari ruangan saya sambil menangis."
Skakmat. Rena terdiam mendengar ucapanku. Kini aku hanya mampu menatap matanya sambil menunggu dirnya bersuara, menjawab segala rasa penasaranku.
"Saya...saya juga nggak tahu kenapa saya nangis. Air mata saya jatuh begitu saja," lirihnya. Aku membuang muka sebelum menyunggingkan senyum tipis. Apa ini pertanda baik?
Astaga, Kim Doyoung mulai gila.
"Na, dengarkan saya." Kuusap pipinya, masih dengan posisi yang sama. Punggungku mulai nyeri, tapi masa bodoh. Aku nyaman dengan posisi ini. "Saya nggak suka Joy. Saya bahkan kaget melihat dia masuk lalu duduk di pangkuan saya seenak jidat."
Tangan kiriku yang berada di pinggiran kursi pun mulai merangkak naik, mengusap pipi kanan Rena yang kosong. Kenapa wajahnya sekecil ini? Kenapa dia serapuh ini? Gila, Kim Doyoung mulai gila.
"Saat kamu lari dari ruangan saya, yang saya pikirkan cuma satu. Apa yang harus saya lakukan supaya kamu percaya sama saya? Kalau saya benar-benar nggak mencintai Joy."
"Pak Doyoungㅡ"
"Kita akhiri kontrak itu. Kita mulai semuanya dari awal. Persetan Joy percaya atau nggak, saya cuma mau kamu yang jadi pemilik hati saya, Na."
Mata Rena bergetar sambil menatapku. Demi Tuhan, kalau dia menangis lagi, aku nggak akan memaafkan diriku sendiri. Terlebih Jeno yang sudah lebih dulu membuatnya menangis. Akuㅡ
Aku tersentak melihat Rena menganggukkan kepalanya pelan. Usapan jariku di pipinya terhenti beberapa detik. Membatu. Membeku.
"Kalau kita coba dulu...boleh?" lirihnya. Aku mengerjap beberapa kali sebelum mengangguk.
"Terima kasih."
Entah setan apa yang merasuki tubuhku saat bibir ini dengan lancang menyesap kembali bibir merah mudanya. Kali ini beda. Terasa lebih manis. Terasa lebih memabukkan. Terasa lebih...
Aku menekan tengkuk sambil menarik tubuh Rena untuk bangkit. Kududukkan tubuh kecilnya di atas meja hingga tinggi kami sejajar. Napasku kian memburu, namun bibir ini masih belum puas menjelajahi tiap sudut bibir manis Rena. Jantungku berpacu nggak karuan. Ini gila.
Sebelum napsu binatangku datang, sebelum setan dalam diriku mengambil alih, sebelum semua berakhir di luar kendali, akupun segera melepas ciuman kami. Dadaku naik turun, berusaha menghirup udara sebanyak mungkin, pun dengan Rena yangㅡsialan! Kenapa bibirnya bisa sebengkak itu?
"P-Pak Doyoung..."
"Kita pulang. Badan kamu panas," kataku sambil menurunkan tubuhnya dari meja kerja. Aku kembali menatapnya sebelum mengusap kepalanya lembut. "Jangan sakit."
Rena hanya mengangguk pelan tanpa suara.
●●
Q : kenapa pak doyoung tiba2 jadi gini?
A : ya gapapalah biar greget aja udah nikmatin keliaran pak doyoung. berharap aja saya gak tiba2 buat ff ini jadi ratedㅡastagfiirrr🌚🌚