"Berita yang kurang mengenakkan datang dari teman kalian, Sanha. Sanha pindah kemarin malam. Dia meminta maaf karena tidak bisa berpamitan dengan kalian karena kemarin waktunya mendadak dan sangat mendesak."
Keadaan kelas menjadi ramai, sesaat setelah guru menyampaikan berita tersebut. Beberapa argumen terlontar dari mulut masing-masing siswa di kelas. Sampai akhirnya suara pukulan penghapus papan tulis membuat seisi kelas terdiam.
"Harap tenang semua, Sanha menulis surat untuk kalian. Bapak akan berikan kepada ketua kelas, kalian bisa membacanya pada waktu istirahat nanti, sekarang kita lanjutkan pelajaran. Buka buku kalian halaman 127."
Mata pembelajaran kini berganti. Wajah beberapa siswa sudah menampakkan raut wajah tidak sabar untuk ke kantin. Namun, mereka harus bersabar karena masih ada satu pembelajaran lagi sebelum waktu istirahat masuk.
"Sanha pindah ada sangkut pautnya dengan rumor sekolah." Ucapan Jeno membuat Haechan membalikkan tubuhnya menghadap Jeno dan sukses membuat kegiatan Jaemin menyalin PR terhenti.
"Hah?!"
"Tidak, hanya pemikiranku saja."
Jeno selalu melontarkan kata-kata secara tiba-tiba. Hal itu membuat teman-temannya terkadang tidak mengerti dengan pola pembicaraan.
Renjun hanya berdecak pelan mendengar perkataan Jeno. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Apa sekolah kita punya - - - - ?"
Kring..........
Perkataan Renjun terpotong begitu bunyi bel berberbunyi.
Mendengar bel istirahat berbunyi, tidak seperti biasanya, Jaemin malah misuh-misuh sendiri. Jaemin merasa waktunya terbuang sia-sia untuk menyalin PR yang menghabiskan tiga lembar kertas dan ujung-ujungnnya tidak dikumpul karena gurunya tidak masuk.
"Cuma nyalin, enggak usah marah-marah," ejek Haechan.
"Hei! — Ini suratnya Sanha ada di atas mejaku," seru Hyunjin sambil berjalan keluar kelas.
Malas mendengarkan omelan Jaemin,
ketiganya memilih pergi ke kantin. Namun, sebelum benar-benar melangkah ke luar kelas, mereka menghampiri meja Hyunjin yang tidak jauh dari pintu kelas. Penasaran akan surat yang ditulis oleh Sanha.
Surat tersebut tidak lebih dari surat seperti biasanya, ditulis di atas kertas buku dan isinya kurang lebih sama dengan apa yang dikatakan oleh guru. Sebuah permohonan maaf. Tidak lebih dari itu.
Setelah berhasil mengambil makanan, mereka langsung mendudukkan diri di bangku kantin yang berisikan empat orang. Seperti biasa mereka makan sambil menyelipkan beberapa percakapan.
"Aku tidak habis pikir, orang seperti Sanha menulis surat."
"Kenapa? Mau mengatakan kalau itu ada sangkut pautnya dengan rumor sekolah? Oh ayolah...coba untuk tidak menyangkutkan semuanya dengan rumor sekolah. Rumor itu hanya sekadar ucapan yang disampaikan secara lisan tanpa diketahui kebenarannya," ucap Renjun sambil menaikkan sedikit nada bicaranya.
Bersamaan dengan selesainya perkataan Renjun, suara bantingan sendok terdengar jelas dari arah Jaemin.
"Ada apa denganmu? Kalau itu memang hanya sekadar rumor yang berkedok kebohongan kenapa kau harus marah? Tidak perlu peduli dan percaya apa susahnya?"
Renjun terkekeh, "Tidak Peduli? Aku ingin sekali, tapi kalian selalu menyeretku. "
Tidak diragukan lagi bahwa mereka menjadi pusat perhatian seisi kantin saat ini. Banyaknya pasang mata tersorot untuk keduanya. Untuk Renjun dan Jaemin.
"Okay cut! Keren sih, kalau kalian aktingnya begini drama kita bisa jadi yang terbaik." Akting Haechan berhasil membuat keduanya tidak lagi menjadi pusat perhatian.
"Sekarang lanjut makan aja dulu, tugas drama kita bicarakan habis makan aja."
Setelah Jeno angkat bicara, keadaan hening menyelimuti mereka. Mereka melanjutkan kegiatan makan mereka tanpa ada lagi percakapan, hingga akhirnya makanan di piring seng mereka tandas.
"Apa yang ingin kau katakan?" tanya Jeno tiba-tiba.
"Apa?" tanya Renjun. Alis matanya mengerut mendengar pernyataan Jeno yang terlontar untuknya.
Bagaikan angin yang menyembur api, Jeno membuat keadaan semakin terasa begitu mencekam.
"Waktu itu sepertinya ucapanmu terpotong dengan bunyi bel istirahat."
Renjun mengerutkan alisnya mencoba mencerna perkataan Jeno. Lalu Renjun sedikit menghembuskan napas dengan kasar.
"Tidak. Itu tidak penting."
Setelah pembelajaran selesai, keadaan kelas menjadi begitu sepi. Hanya menyisakan satu-dua anak yang sedang piket.
"Renjun, aku duluan."
Tidak bertahan lama. Untuk saat ini kelas hanya terisi oleh satu orang membuat desiran angin sore terdengar dengan jelas.
Dengan cekatan Renjun menyapu seluruh sisi kelas. Matanya kini melirik ke arah secarik kertas putih yang tergeletak begitu saja di bawah meja guru. Baru saja Renjun ingin menggerakkan sapu ke arah kertas tersebut tiba-tiba saja ia mengurungkan niatnya dan menghentikan penggerakannya. Tangannya kini bergerak mengambil kertas tersebut. Ia membaca setiap tulisan yang tertulis di kertas tersebut.
Tulisan tersebut sukses membuat Renjun melototkan matanya. Telihat jelas di sana, nama Sanha yang ditulis dengan pena berwarna merah.
Kazoeru - Menghitung
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Kazoeru
Fanfiction[walaupun kisah ini telah rampung, tetaplah tinggalkan jejak :D] "Jangan diketuk atau 'dia' akan mulai menghitung" Catatan: Cerita ini hanya sekadar fiksi penggemar. Tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan nyata. Saya hanya meminjam visual dan n...