Renjun POV onSehabis dari kamar Jeno aku tidak berniat untuk kembali ke kamarku. Aku melangkahkan kaki menuju ke luar asrama berniat membeli beberapa cemilan di koperasi. Pikiranku masih berlalang buana. Aku tidak habis pikir bagaimana bisa Jeno mengatakan kalau kejadian itu karena ulah makhluk halus, bukankah itu sudah pasti perbuatan-
"Kamu ikut ke ruangan bapak," ucap kepala sekolah—objek yang saat ini memenuhi kepalaku.
Mau tidak mau aku melangkahkan kakiku mengikuti langkah pria yang sudah memasuki usia 40-an tahun tersebut. Aku berjalan di belakangnya, tidak dapat dipungkiri perasaan takut menghinggap di pikiranku.
"Silahkan duduk." Dengan langkah ragu aku mendudukkan diri di kursi yang berada tepat di depannya.
"Sejauh apa kalian mengetahuinya?" Aku tidak habis pikir kepala sekolah langsung to the point tanpa basa basi satu kata pun.
"Maksudnya, pak?"
"Sejauh apa kamu dan ketiga temanmu mengetahui masalah ini?" Tidak berniat menjelaskan maksud dari pertanyaannya, kepala sekolah hanya menanyakan kembali pertanyaan tersebut dengan menambahkan satu-dua kata tambahan.
Aku hanya diam menerka-nerka apa yang sebaiknya aku lakukan dalam ke adaan seperti ini. Sampai akhirnya kepala sekolah kembali angkat suara.
"Lebih baik membisu dari pada harus melangkah lalu akan membisu kemudian. "Cengiran tergambar jelas di wajahnya,"Kamu boleh keluar sekarang," lanjutnya.
Renjun POV off
Wajah terkejut terpancar pada ketiganya setelah mendengar cerita Renjun yang benar-benar membuat mereka tidak tahu harus berbuat apa.
"Apa itu ancaman?"
Renjun mengangguk, "Apa kalian akan diam saja?"
"Mau bagaimana lagi?" tanya Haechan.
"Kita tidak bisa berbuat apa-apa. Dari awal kasus ini memiliki titik ambang. Lagi pula kita akan mengadu pada siapa? Dan lagi, siapa yang percaya akan penjelasan kita yang terlalu tiba-tiba ini?" jelas Jeno.
"Aku setuju, menurutku ancaman kepala sekolah itu tidak main-main."
"Mungkin sudah cukup sampai di sini saja. Cukup tahu saja kalau kasus ini ulah kepala sekolah yang latar belakangnya adalah dari keteledorannya."
Renjun menggelengkan kepala, "Cukup? Aku tidak merasa begitu. Setelah apa yang dia lakukan apa yang dia tuai? Tidak ada? Malah seperti orang yang tidak tahu menahu."
Renjun menghembuskan napas, mencoba tidak menaikkan nada bicaranya.
"Kalau dipikir-pikir ini tidak ada sangkut pautnya juga dengan kita."
"Memang, tapi coba kalian tempatkan diri kalian pada diri keluarga korban! Apa kalian terima orang yang kalian kasihi hilang begitu saja tanpa keterangan jelas selama dua setengah tahun dan ketika didapatkan malah tidak bernyawa. Lalu orang yang tidak bersalah juga harus menjadi korban akibat kesalahannya...ah susah kalau selalu berpikiran realistis," ucap Renjun nyaris dengan satu kali tarikan napas. Renjun mengatur deru napasnya, mencoba mengendalikan emosinya.
Keadaan begitu hening, suara deting jam terdengar sangat jelas. Mencoba menyadarkan, bahwa mereka sudah membuang sia-sia beberapa detik yang telah berlalu.
Keadaan begitu canggung. Entah bagaimana caranya untuk menghapus bersih suasana tersebut.
"Lalu apa yang mau kamu lakukan?" tanya Jeno. Orang yang pertama kali memecahkan suasana canggung tersebut.
Merasa pertanyaan itu ditunjukkan untuk dirinya, Renjun langsung mengalihkan pandangannya ke asal suara. Ia terdiam mendengar pertanyaan Jeno.
"Jangan gegabah-" belum selesai Jeno melanjutkan perkataannya, Renjun langsung melontarkan jawaban.
"Kalau yang dikatakannya lebih baik membisu dari pada harus melangkah lalu akan membisu kemudian. Maka kita ikuti kemauannya."
Raut wajah bingung terpancar dari ketiganya.
"Maksudmu?"
Renjun tersenyum miring, "Kita akan membisu kemudian melangkah bukan itu lebih baik?"
"Kapan itu?" tanya Jeno.
"Kita akan membisu ketika polisi tersebut meminta pernyataan, lalu melangkah ketika waktu kelas duabelas melakukan pelepasan."
Kazoeru - Menghitung
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Kazoeru
Fanfiction[walaupun kisah ini telah rampung, tetaplah tinggalkan jejak :D] "Jangan diketuk atau 'dia' akan mulai menghitung" Catatan: Cerita ini hanya sekadar fiksi penggemar. Tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan nyata. Saya hanya meminjam visual dan n...