Sudah genap seminggu dihitung sampai dengan hari ini, akhirnya hasil otopsinya keluar. Menyatakan bahwa ketiga mayat yang di dapatkan tersebut adalah ketiga anak yang hilang dua setengah tahun yang lalu. Dino, Sicheng dan Minho.
Setelah kejadian tersebut Renjun lebih sering melamun. Percakapan mereka selalu terarah kepada kejadian tersebut.
"Kalau di pikir-pikir, berarti dari awal kepala sekolah sudah tahu kalau kita tahu tentang rumor tersebut? " tanya Jaemin. Dia benar-benar pusing dengan semua kejadian tersebut.
"Mungkin," jawab enteng Jeno.
"Kalau begitu bisa saja selanjutnya kita yang jadi korban karena ikut campur," ucap Jaemin kembali.
"Mungkin." Mendengar jawaban Jeno Haechan geram.
"Kemungkinanmu tidak membantu sama sekali!"
"Jadi teror hitungan selama ini tujuannya apa? Supaya kita berpikir kalau ini ulah makhluk halus?"
"Maybe-" Satu buah batal kini sukses menampar wajah mulus Jeno. Jeno meringis dan langsung melemparkan kembali benda tersebut kepada Haechan.
"Kau pikir aku tidak pintar bahasa inggris?"
"Aku belum selesai bicara." Jeno mendengus kesal. "Mungkin saja itu ulah kepala sekolah tapi bisa juga itu ulah makhluk halus atau mungkin saja-"
"Hei! Itu sudah jelas bukan ulah makhluk halus!" ucap Renjun tidak setuju dengan perkataan Jeno.
Tidak terasa ujian sekolah untuk kelas duabelas telah berakhir. Dengan begitu libur mereka pun juga telah berakhir.
Kelas kini sudah mulai kembali efektif. Kelas yang awalnya tak berpenghuni kini terisi penuh. Tak jarang suara ribut yang berasal dari koridor menambahkan citra sekolah. Papan tulis pun yang awalnya bersih akan tulisan, kini hanya butuh beberapa menit saja sudah kembali terisi penuh dengan huruf yang berangkai satu kesatuan.
Hal-hal membosankan akan mewarnai kegiatannya dibeberapa jam ke depannya. Pikir Jaemin ketika mata pelajaran yang tergolong pelajar eksakta itu tengah berlangsung.
Ingin rasanya Jaemin mulai merakit di alam mimpi namun mata sang guru yang seperti elang itu membuatnya mau tidak mau menatap rumus logaritma yang entah kapan menemukan titik temunya. Jaemin memang menatap papan tulis tersebut dengan lekat. Namun, harus dicatat bahwa kini pikiran Jaemin berlalang buana.
Ia harap bel istirahat berbunyi. Entah kenapa pada saat mata pelajaran matematika rasanya detik yang berlalu seperti menit, menit yang berlalu seperti jam, jam yang berlalu seperti hari. Waktu berjalan amat lambat.
"AKHIRNYA!!!" Teriakan Jaemin menggema ke seluruh ruangan kelas begitu guru tersebut keluar dari kelas, sontak membuat Haechan yang awalnya tertidur langsung loncat dari bangkunya.
"KAGET! WOI!"
Walaupun sang guru memiliki mata elang namun tetap saja Haechan dapat tertidur nyenyak di kala guru tersebut sedang menjelaskan. Poin utamanya adalah Renjun. Guru tersebut jarang melirik ke arah Renjun karena dianggap akan selalu fokus pada pelajaran jadi Haechan mendapatkan imbasnya.
Untuk urusan kantin tidak ada yang namanya kata absen. Setiap biasa, setelah mengambil makanan bagian masing-masing, mereka langsung mendudukkan diri di meja yang khusus untuk empat kursi.
"Jun, makanannya jangan diudak-udak aja, dimakan, kalau enggak kasih ke aku aja," ucap Jaemin
"Bilang aja mau minta, susah banget," cibir Haechan.
"Renjun!" panggil Jaemin sambil menaikkan nada bicaranya.
"Ah...ada apa?"
"Kamu yang ada apa? Jangan melamun terus!"
"Enggak melamun kok," jawab Renjun mantap.
"Terus tadi ngapain? Membajak sawah?"
Renjun tidak berniat untuk menjawab candaan Jaemin. Wajahnya kini mulai menunjukkan raut kecemasan.
"Kemarin aku di panggil kepala sekolah."
Kazoeru - Menghitung
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Kazoeru
Fanfiction[walaupun kisah ini telah rampung, tetaplah tinggalkan jejak :D] "Jangan diketuk atau 'dia' akan mulai menghitung" Catatan: Cerita ini hanya sekadar fiksi penggemar. Tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan nyata. Saya hanya meminjam visual dan n...