Part. 17

33.3K 2K 88
                                    

Di apartemen mewahnya di Manhattan, New York City Drake masih berkutat di balik ponsel pintar miliknya. Ia berencana mengembangkan bisnis ke New York City sehingga disinilah Ia berada. Bisnis properti selalu menjanjikan disini, Ia membeli sebuah gedung dari hasil lelang dengan harga tinggi dengan tujuan membangun sebuah apartemen mewah di atasnya yang nilainya akan bertambah berkali lipat. Ia mencurahkan semua waktu dan energi, termasuk mengabaikan Cassie. Padahal setiap malam Ia gelisah karena memikirkan gadis itu. Tiga hari adalah siksaan yang teramat panjang, Ia selalu merindukan mata Cassie yang membesar ketika disentuh, atau suara lenguhan setiap kali Ia menyetubuhi gadis itu dengan kasar. Drake mengakui dirinya memang bajingan, tidak pernah Ia memperlakukan gadis itu dengan lembut. Naluri hewani tampil dominan dalam jiwanya, kebiasaan kejam dalam berbisnis selama bertahun-tahun berdampak membekukan hatinya. Drake bukan tipikal pria yang membawa bunga dan cokelat, Ia tidak pergi ke biokop untuk berkencan. Tidak pernah berbasa-basi dan tidak menyukai argumen dati lawan bicara.

Cassie adalah satu-satunya perempuan yang mampu mengimbangi dirinya. Tidak pernah menyela dan selalu patuh. Ada kepuasan tersendiri setiap kali berhasil mengendalikan Cassie, mendominasi dengan segenap kekuasaannya. Sepasang bola mata itu menatap dengan rapuh, begitu lemah di hadapannya. Drake amat menyukai sensasinya.

Drake menutup laptop, pikirannya kacau. Semakin mencoba mengenyahkan bayangan Cassie di kepalanya semakin selangkangannya berdenyut nyeri. Kejantanannya membengkak di balik setelan celananya. Drake ingin sekali melampiaskan gairahnya bersama gadis itu, jadi Ia membayangkan Cassie berada di dalam kamarnya dan tengah melucuti pakaian yang dikenakan. Drake merangsang dirinya sendiri, khayalan erotis akan percintaan liar membuat erangan terlontar dari mulutnya. Nafasnya semakin berat saat hampir menggapai klimaks. Namun suara dering ponsel membuatnya berhenti di tengah jalan, Ia menyumpah serapah seraya menarik ponsel dari meja.

"Sebaiknya hal penting yang akan kau bicarakan, Smith. Aku sedang tidak baik saat ini." Suara Drake serak dan berat seperti singa jantan yang lapar.

"Berapa banyak hutang Miss Fleur padamu? Katakan, Lincoln. Aku berniat melunasinya."

Drake terperangah. Tidak akan Ia menyerahkan Cassie pada orang lain, apalagi pada pria seperti Smith. "Kau berniat menidurinya, Smith. Dan itu tidak akan pernah terjadi. Lupakan khayalanmu mulai sekarang."

"Jika tidak mau menyerahkan Cassie padaku setidaknya lindungi dia dari Lilian. Lilian mulai mengganggu Cassie dengan mendatanginya ke kampus."

"Mengapa kau mengatakannya padaku?"

"Karena Cassie tidak mau menerima bantuan dariku. Lilian tidak bisa diperingatkan, sepupu manja ku terbiasa menggunakan posisinya untuk menyakiti siapapun di bawahnya. Cassie bisa terluka, sebaiknya kontrak diantara kalian segera dihentikan."

Sudah cukup.
Drake memutus panggilan telepon itu dengan geram kemudian melakukan panggilan yang lain.
"Siapkan penerbangan ke Boston secepatnya."

Lilian kecil berani bermain api dengannya. Drake beranjak dari kursi tinggi menuju ke depan meja bar, menuangkan anggur ke dalam gelas dan menyeruputnya hingga habis. Tangan lain yang menggenggam ponsel menekan deretan angka. "Linda, kirimkan jadwal kegiatan Lilian. Aku ingin tahu dimana dia berada hari ini."

********
Drake telah duduk di lounge eksekutif ruang tunggu bandara, Jet pribadinya akan terbang ke Boston satu jam lagi. Ia masih mengenakan setelan lengkap, setelah menutup rapat dengan beberapa investor melalui ponsel, Drake meraih gelas di atas meja dan menenggaknya sekaligus. Konsentrasinya terganggu pada seorang wanita di seberang meja yang memandanginya sejak tadi. Wanita dengan setelan seksi yang menonjolkan dada sebesar melon, Drake mengernyitkan dahi, hak sepatu yang dikenakan wanita itu setinggi gedung pencakar langit di Manhattan. Ia sekedar menikmati pemandangan di depannya, tidak lebih. Wanita itu menggeser kaki, merubah posisi duduk mengira Drake akan memperhatikan rok pendek yang terangkat naik. Wanita itu mencoba merayunya.

Wanita itu beranjak dari sofa, berjalan dengan gerakan pinggul yang memuakkan. Kesibukan di Manhattan masih menyisakan penat, ditambah kekacauan yang disebabkan Lilian. Ia berharap saat kembali ke Boston, wajah Cassie yang menghiburnya, bukan Lilian atau wanita dengan dada dan senyum palsu.

Drake masih menunggu, tidak bergeming. Wanita itu melangkah pelan hingga ke depan mejanya, menggigit bibir bawah sekilas kemudian tersenyum. Drake masih menyilangkan kaki, membalas wanita itu dengan wajah datar dan tatapan sedingin es. Wajah itu langsung memucat, tampak gugup.

"Bolehkah aku bergabung denganmu?" Suara serak yang dibuat-buat. Drake amat membenci kepalsuan.

Drake menggerakkan bola mata nya ke arah tempat duduk wanita tadi. "Kursi itu terlihat baik-baik saja." Ucapnya tidak berminat. "Apa perlu aku panggilkan pelayan memastikan tidak ada benda mengganggu di kursimu?" Kemudian Drake berdiri dan hendak melambaikan tangan.

"Tunggu." Wanita itu menyela dengan mengangkat kepala, mencoba kuat menghadapi harga diri yang sedang diinjak-injak oleh Drake. "Itu tidak perlu dilakukan."

"Bagus. Tolong kembali ke kursimu"  Ucap Drake tanpa melihat. Ia kembali duduk dan meraih majalah di meja.

"Anda tidak seperti pria normal lainnya." Wanita itu berkata lagi.

Darah Drake memanas mengaliri aliran darahnya. Kepalanya terangkat dari membaca majalah menatap wanita di depannya.  "Aku memang tidak normal, karena tidak menyukai barang palsu." Drake menatap sekujur tubuh wanita itu lalu tersenyum merendahkan.

"Dasar brengsek." Wanita itu meneriaki Drake lalu mengambil tas di meja dan pergi meninggalkan ruangan.

Hiburan yang menyenangkan, pikir Drake senang di sela kebosanan. Setelah kejadian itu, tidak lama kemudian pesawat jet miliknya siap diberangkatkan.

******

Drake langsung menuju sebuah restoran mewah di Boston setelah mengetahui informasi tentang keberadaan istrinya. Ia telah menghubungi Lilian dan wanita itu terdengar girang mengetahui kedatangan Drake.

Senyum Lilian menyambutnya saat berjalan mendekat hendak mengecup pipi Drake. Ia memegang bahu istrinya menghindari pelukan Lilian. Senyum di bibir Lilian seketika pudar.

"Kau tidak mau dipeluk istrimu setelah pergi berhari-hari?" Lilian mengabaikan Drake dan duduk kembali di kursi.

Drake menarik kursi di depan Lilian, memperhatikan istrinya yang menekuk bibir. "Sudah kukatakan padamu jangan menemui gadis itu."

Lilian menatapnya marah. "Jadi kau menemuiku untuk itu?"

Drake merebahkan punggung di sandaran kursi. "Jangan temui dia lagi."

"Aku akan membuatnya menderita, Drake. Seperti kau melakukannya padaku." Ancam Lilian.

"Jangan munafik, Lili. Apa kau mengira aku tidak tahu sudah berapa pria yang kau ajak tidur? Sejak awal hubungan kita hanya sekedar kepentingan bisnis. Selama ini aku tidak pernah memiliki simpanan, kau yang memulai kekacauan dengan semua perselingkuhanmu." Drake menahan suaranya agar tidak melampaui pendengaran pengunjung lain. Meskipun darahnya mendidih hingga ke ubun-ubun.

"Jika kau macam-macam lagi denganku, Lili. Surat perceraian kita akan sampai di rumah orang tuamu sesegera mungkin."

Wajah Lilian merah padam menahan amarah. Sebelum sempat istrinya berkata, Drake menambahkan lagi. "Keluargamu tidak akan mencapai puncak kesuksesan jika bukan karena campur tanganku, bisnis keluarga kalian diambang kehancuran saat itu. Aku bisa saja menghancurkannya lagi dalam sekejap. Pikirkan itu, Lili."

"Kau memang bajingan, Drake." Mata Lilian berkaca-kaca, lemah di hadapan Drake.

Drake selalu tahu apa yang harus dilakukan, termasuk mengintimidasi lawan bicara. Menjadi yang paling dominan selalu prioritas baginya.
Drake mencondongkan wajahnya, menatap Lilian lebih tajam. Ia berkata lirih. "Dari awal kau sudah tahu aku brengsek, tapi aku paham apa yang kau cari dariku. Hamburkan uangku sesuka hatimu. Tapi sekali saja kau datang menemui Miss Fleur bahkan menyentuh ujung rambutnya, kau akan menyesalinya."

Drake menggeser kursinya dan beranjak pergi meninggalkan Lilian yang terluka. Ia sudah tidak perduli. Sudah berapa kali Ia harus menyuap wartawan yang mendatanginya agar nama istrinya tidak ditulis di kolom gosip. Drake sudah muak dengan peran gadis lugu yang dimainkan Lilian.
Ia harus pergi sekarang, Ia akan memberi kejutan pada Cassie.

**************
To be continue

Deal With The Devil (The Affair)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang