Part. 22

35K 2.1K 53
                                    

Tanpa terasa musim telah berganti, salju mulai turun di penghujung tahun di bulan Desember. Cassie telah mengakhiri masa skorsing dan kembali ke kampus. Persidangan perceraian Drake dan Lilian telah final, keduanya berpisah dengan damai.

Drake memaksa Cassie untuk pindah ke kediaman utama pria itu. Tapi Ia bertahan di apartemen karena tidak ada alasan baginya untuk tinggal di tempat Drake. Cassie berusaha keras melepaskan diri dari pengaruh Drake karena tidak ingin selalu dianggap sebagai simpanan.

Drake cukup sulit menerima kekalahan, pria itu tidak bisa menerima penolakan. Cassie sudah satu minggu tidak menjawab panggilan ponsel Drake sejak pria itu berada di Manhanttan. Menghindar adalah cara tercepat agar Drake perlahan melupakannya.

Sialnya bagi Cassie, perusahaan Drake yang mendanai sebagian besar riset kampus mengundang universitas untuk magang selama satu bulan ke depan. Meskipun perusahaan berpusat pada bisnis properti, kegiatan magang hanya berupa wawasan dan pengalaman bekerja bagi mahasiswa.

Pagi ini adalah hari pembukaan dimana semua peserta magang diterima secara resmi di perusahaan. Semua peserta magang berkumpul di lobi. Cassie amat berharap Drake masih berada di Manhattan sehingga tidak perlu bertemu. Ia sengaja mengambil tempat di barisan paling belakang, Jackson berdiri di sampingnya. Teman sekelasnya itu tampak telah menemukan tambatan hati yang lain. Seorang mahasiswa cerdas di kelas mereka membalas perhatian khusus yang ditawarkan Jackson, keduanya asik mengobrol sembari menunggu pembukaan dimulai.

Cassie memperhatikan asisten Drake berjalan ke depan barisan. Hatinya lega, Ia merogoh ponsel dari dalam tas lalu membalas pesan Hellen. Jika Drake tahu Ia mengganti nomor ponsel, Cassie tidak bisa membayangkan betapa murka pria itu.

Ponsel di tangan Cassie merosot hingga hampir terjatuh ketika suara serak yang berdeham di speaker membuat jantungnya terlonjak. Ia mengangkat kepala dan menelan ludah. Pria itu berdiri dengan tatapan dingin mengarah padanya. Cassie sesak nafas, kedua kakinya bergerak sendiri. Ia berjalan keluar barisan menjauhi tatapan penuh ancaman di depannya.

Setelah berjalan cukup jauh, Cassie menemukan pintu kamar mandi dan bersembunyi di dalam. Ia berdiri di depan wastafel dan membasuh muka, meraup oksigen dari percikan air yang menyapu wajahnya. Pikirannya kacau. Drake telah melihatnya menggunakan ponsel, badai akan segera datang. Antara pergi atau tetap tinggal, bagaimanapun pilihan yang diambil, mereka tetap akan sering bertemu.

Suara pintu yang dibuka dengan kasar membuatnya menoleh. Kedua kakinya terdesak mundur hingga punggungnya menumbur tembok yang dilapisi marmer ketika pria itu mengunci pintu dan melangkah cepat ke arahnya.

Uluran tangan Drake menyasar pinggangnya, memerangkapnya ke dalam dekapan ketika bibir pria itu melumat bibirnya. Bukti gairah Drake mengeras di perut Cassie, kancing kemejanya mulai dilucuti satu persatu.

"Drake...." Suara terkesiap terlontar saat kedua bukit kembarnya diraup ke dalam genggaman pria itu. Satu tangan Drake merangkak naik memegangi leher bagian depan menengadahkan kepala Cassie.

Tatapan mata Drake membakar sekujur tubuhnya, kobaran api amarah sekaligus gairah. Suara Drake mendesis tajam. "Mengapa tidak menjawab panggilanku, Cassie!"

"Sudah jelas di pesan singkat yang kukirimkan padamu, aku ingin putus." Ia menatap Drake dengan tegar. Dengan gugup mengancingkan kemejanya kembali.

Drake menangkap tangannya yang mencapai kancing terakhir. "Jelaskan apa kesalahanku?" Pria itu mengguncang tangannya membentak marah. "Katakan!"

"Pria pemarah dan kasar sepertimu, wanita mana yang tahan." Jawab Cassie. "Kau hanya mementingkan dirimu sendiri, Drake."

"Apa pertengkaran ini tentang aku meminta kau pindah ke tempatku." Tangan Drake menangkup pipinya. "Kita bisa bicarakan baik-baik."

"Kau memegang semua kendali. Tidak boleh mengunjungi kantormu, harus pindah ke tempatmu, melarangku menemui teman-temanku, semua tentang keinginanmu."

"Jadi apa maumu sekarang?"

"Aku ingin jeda, memikirkan kembali hubungan kita."

Punggung Cassie menempel dinding marmer ketika wajah Drake membungkuk mencondongkan wajah semakin dekat hingga hidung mereka nyaris bersentuhan. Nafas Drake beraroma pappermint menyapu wajahnya. "Pria mana yang kau incar? Jackson? Smith?" Drake menyentuhkan bibir di pelipisnya. "Aku tidak ingin jeda, atau apapun yang kau sebut sebagai alasan agar bisa meninggalkanku. Jika kau ingin berhenti sejenak, lakukan sendiri. Sayang sekali aku tidak bisa memenuhi harapanmu."

Drake menarik diri berdiri cukup jauh, bersandar pada meja wastafel. Pria itu membuka layar ponsel dan membaca sesuatu dengan wajah datar.

Kesunyian ini cukup menyiksa Cassie.
"Bagaimanapun, untuk sementara berikan aku waktu untuk berpikir." Ungkap Cassie lirih.

"Tidak. Turuti apa kataku." Drake menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. "Aku harus kembali ke Manhattan, pesawatku sudah menunggu." Drake menatap Cassie lagi. "Aku ingin sekali menciummu sampai kita kehabisan nafas. Tapi aku akan sabar menunggu sampai kau siap."

Drake memandanginya dengan cara yang menggelisahkan Cassie. Drake memperhatikan gerakan lidahnya saat membasahi bibir. "Mengapa kau tidak mencari perempuan lain untuk ditiduri?"

Drake menghela nafas. "Apa kau ingin perempuan lain mengerang di ranjangku?"

Cassie terdiam. Mengapa sangat menyakitkan mendengar Drake mengatakan hal itu. Baru mendengar, membayangkan Drake bersama wanita lain membuat pipinya memerah karena panas dan ingin menampar wanita itu. Tapi mengapa Ia marah? Bukankah setelah berpisah, Drake bebas meniduri wanita manapun yang pria itu suka.

"Kupikir tidak masalah perempuan manapun, yang kau mau hanya seks bukan."

Drake berjalan ke depan, mengambil ponsel dari tas Cassie. Pria itu menyalin nomor barunya dengan meneruskan panggilan ke ponsel Drake. Kemudian meletakkan ponselnya kembali ke dalam tas.

"Saat ini aku menahan diri." Pria itu menggeram. "Karena meja wastafel itu cukup menggoda jika saja bisa mendudukkanmu diatasnya. Tapi seperti yang sudah kukatakan, pesawatku sudah menunggu, dan kau sedang tidak berminat."

Drake mengecup pipi kemudian dahinya sebelum berjalan ke arah pintu keluar. "Harusnya kau sadari, sejak pertama kali melangkahkan kaki di rumahku hari itu, saat itulah aku memutuskan tidak akan pernah melepaskanmu." Drake berkata padanya sebelum akhirnya berlalu.

***************

To be continue.

Deal With The Devil (The Affair)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang