TUJUH.

1.9K 217 17
                                    

"Zu, ada apa sih?"

"Hm?"

"Ada apa?"

Ada Rangga di tempat golf tadi.. "Eh? Gak papa. Tadi keinget aja lupa ngunci pintu." Jawab Arzu bohong.

"Ish! Kirain apaan tau gak? Gak belas banget sih. Kan di sana juga ada Mbak Uni jadinya apart aman, dong!" Sebal Demi menyilangkan tangannya di dada. Sedangkan Arzu hanya diam terfokus pada jalan raya didepannya. Yah, sejujurnya juga entah kenapa hatinya langsung ingin menarik Demi pulang agar tak melihat, bahkan bertemu Rangga disana. Untungnya juga, Demi tak melihat Rangga disana. 

Sesampainya diapartment, Demi memilih turun dari mobil terlebih dahulu. Malas juga berlama-lama dengan Arzu di mobil. "Eh, Mbak? Emang tadi pintunya gak kekunci, ya?" Demi menghempaskan tubuhnya ke sofa sambil menatap Mbak Uni yang sedang menyapu didepannya.

"Pintu? Kekunci kok. Kan Mas Arzu juga udah setting pintunya sendiri. Yang itu loh, kalau gak ada orang dirumah, langsung otomatis kekunci sendiri gitu deh." 

Demi mengerutkan alisnya cepat. "Kan! Arzu bohong berarti.."

"Bohong gimana, Dem?"

"Iya, Mbak. Arzu minta pulang cepat-cepat katanya pintu apartment gak kekunci. Aneh banget, dia tuh kenapa sih suka aneh gitu tiba-tiba?"

"Ehem.."

"Eh, Mas Arzu.." Mbak Uni berusaha menyapa Arzu agar tak merasa dibicarakan oleh Demi dan dirinya.

"Ada apa?"

"Eh..ini-"

"Gak ada apa-apa kok, Zu." Potong Demi cepat saat Mbak Uni ingin menjelaskan.

"Dem."

"Hah?"

"Aku mau ngomong." Wajah Arzu terlihat sekali ingin membicarakan perihal yang serius. Ah, sudah tau Demi benci sekali jika Arzu berbicara serius-serius. Terlihat menyeramkan tiga kali lipat.

"Ya tinggal ngomong."

"Di balkon aja, yuk?" Ajak Arzu menunjuk balkon didalam kamarnya. Memang disana doang sepertinya tempat favorite Arzu untuk berdiam, berbicara sendiri, ngopi, dan yang lainnya. Yang padahal, masih banyak sekali tempat lain yang lebih santai daripada balkon kesayangannya itu.

Demi duduk terlebih dahulu disisi kanan sofa. "Apaan sih?"

"Maaf, sebelumnya untuk ngomong kayak gini." Ujar Arzu sambil menunduk menatap jari tangannya yang saling mengait.

"Apaan sih? Gak usah sok serius kek."

"Dem, kamu kan posisinya sekarang udah berumh tangga sama aku. Seharusnya kamu jaga diri kamu buat aku juga dong?"

"Apaan sih, geli!"

"Maksudku, kamu batasi pertemanan kamu dengan Rangga. Aku takutnya hubungan kita jadi omongan orang lain. Takutnya pula banyak yang negthink tentang kamu dan Rangga."

"Ya lagian lebay banget. Kayak emang harus banget gitu sama kamu terus akunya?" Demi menatap Arzu tak terima.

"Dem, tolong berfikir dewasa sedikit."

"Kamu tuh apa-apaan sih dari kemarin nyuruh aku dewasa terus? Dewasa yang kayak gimana yang kamu mau, Zu?" Demi menaikkan sedikit intonasi nadanya.

"Dewasa pemikiran, Dem. Bukan pemikiran anak kecil egois kayak gini." Arzu berusaha menenangkan. Butuh kesabaran juga untuk menstabilkan Demi yang entah kenapa sangat emosian ini.

"Oh, jadi kamu ngatain aku kayak anak kecil, gitu?" Demi tersenyum sinis.

"Ya..bukan itu maksud-"

"Ah, yaudahlah. Dari awal kita juga gak pernah nyambung. Gak pernah sejalan. Cerai aja!"

Deg.

Cerai?

Segampang itu ia bilang cerai?

"Dem.."

"Apa lagi?!"

"Jangan coba-coba untuk bilang kata itu lagi.."

"Kenapa? Hah? Apa salahnya, aku dan kamu yang sama-sama gak cinta seatap begini dan minta cerai?!"

"Dem..aku mohon jangan bilang kata-kata itu lagi.."

"Aku udah capek sama kamu, Zu! Males juga sama kamu yang suka over protektif sama aku! Percuma kita hidup bareng dalam kebohongan masalah hati, Zu! Percuma!"

Ya tuhan..

Wanita ini memang benar-benar seperti tidak sudi dengannya. Sungguh, kalau bisa jujur. Memang niat awal menikahinya karena ingin mengambil alih kekuasaan kepemilikan rumah sakit yang ia punya. Tapi, lama kelamaan ia juga sadar, hatinya butuh Demi disini. Walau memang ia menyebalkan dan egois, entah kenapa hatinya selalu menginginkan Demi. Apalagi kemarin, saat mengetahui Demi yang sedang makan bersama dengan Rangga. Panas sekali hatinya saat itu.

"Dem.."

"Apa?! Masih mau ngekang?!"

"Maaf, aku cuma takut kamunya kenapa-napa. Sekarang terserah kamu mau kayak gimana, Dem. Aku gak bakal ngekang kamu lagi." Arzu berdiri. "Kalau ada apa-apa aku dikamar ya."

*** 

Sial!

Kenapa ia malah menyesalinya sekarang?

Memang sih, tak sepantasnya juga ia berkata seperti itu pada Arzu. Bisa dicap istri durhaka ia nantinya. Ah, lalu ia harus bagaimana sekarang? Apalagi saat tadi wajah Arzu yang sangat tidak enak dipandang dan seperti sudah terlalu sabar menghadapinya.

Demi mendekat kearah pintu kamar Arzu, ingin meminta maaf, tapi takut tak dimaafkan. "Zu?"

Belum ada jawaban.

"Zu?"

Masih sama.

"Arzu?"

"Ya?" Dijawab.

Ah, lalu apa yang harus ia katakan selanjutnya? Minta maaf? Bagaimana nantinya kalau Arzu menyangka dirinya terlalu murah dimata Arzu saat mengemis maaf seperti itu?

"Ehm..aku laper. Makan diluar, yuk?" Ujar Demi berusaha mencari topik. Sebenarnya juga, ia tidak terlalu lapar sekarang. Ah, demi mendapatkan perhatian Arzu saja ia berpura-pura seperti ini.

"Kapan?"

"Sek-" 

"Sekarang?" Arzu langsung menongolkan kepalanya di pintu yang tak terlalu terbuka. Astaga, hampir saja jantung Demi copot melihat wajah Arzu spontan seperti itu. Mengagetkan sekali lelaki ini. 

"Iy..iya.."

"Tunggu sebentar ya, Dem. Kamu siap-siap dulu aja."

Dan, berujung Demi menunggunya dimobil. Bagaimana cara meminta maaf pada Arzu? Terlalu sulit untuk mengatakan maaf pada lelaki model kaku seperti itu. Ya, tuhan. Tolong jaga mulut Demi saat ia ingin mencacinya. Ya, tiba-tiba saja ia terngiang kata-kata ibunya, jika tidak mau patuh pada ucapan suami dan tidak diridhoi ia akan masuk neraka seumur hidupnya. Astaga, sangat buruk sekali.

"Dem."

"Eh?"

"Kok bengong? Ayo, aku udah siap."

Ya tuhan, tolong.. 

Semoga ia bisa meminta maaf pada Arzu tanpa canggung. Semoga.

____________

Maaf yaa jarang update. Aku lagi banyak tugas sekolah hwhw.

Mohon perhatiannyaaaa, terimakasih. :)

MIRACL(e)OVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang