DUA PULUH SATU.

1.6K 179 19
                                    

"Gimana perasaanmu selama ini padaku?"

Demi menaikan alisnya cepat. "Perasaan apa?"

Astaga, pertanyaan seperti ini saja Demi masih belum bisa mencernanya dengan baik. Bagaimana jika Arzu teruskan perkataannya ini? Pastinya Demi semakin tidak mengerti. Yah, sudahlah. Kapan-kapan saja.

"Perasaan kamu pas jalan-jalan ke Paris maksudku." Bohong Arzu.

Demi tersenyum mengangguk-anggukan kepalanya cepat. "Seneng lah! Ternyata kamu toh yang ngabulin mimpi aku selama ini. Dari dulu minta sama Daddy selalu sibuk. Bilangnya 'Demia, mending kamu jalan sama teman-teman kamu saja.' Begitu terus deh! Sampai akhirnya Daddy sakit. Yah, sedih deh. Tapi gak papa sih, tuhan berarti punya jalan lain dengan perantara kamu, ya kan?"

Entah, perkataan terakhir Demi langsung membuat Arzu menahan senyumnya yang sebentar lagi terpampang jelas. Ia tak boleh terlihat terlalu manis didepan Demi. "Mungkin.."

"Ish! Kamu tuh kalau jawab jangan terlalu irit dong. Yaudah lah, aku mau siap-siap dulu buat nanti malam." Ujar Demi sambil berlalu.

"Dem, bawa baju secukupnya saja. Karena aku yakin pasti disana kamu akan belanja pernak-pernik yang akan memakan koperku juga." Teriak Arzu yang membuat langkah Demi terhenti.

Demi mengerutkan alisnya cepat sambil menggembungkan pipinya sebal. "Enak aja! Aku gak seribet itu juga kali!"

***

ARZU POV.

20.20 Malam.

Kami berdua sudah berada didalam pesawat. Cukup lama jarak dari Paris ke Roma, yah, jadi aku masih bisa beristirahat disini. Demi sudah tidur sedari tadi, sedangkan aku masih berkutat dengan pikiran yang sedari tadi selalu menghantuiku. Bagiamana caranya agar Demi bisa jujur soal perasaannya padaku?

Sulit sekali jika harus jujur padanya entah kenapa. Mungkin karena sifat polosnya juga yang membuatku semakin takut mengatakan yang sejujurnya padanya. Hanya waktu-waktu ini saja yang bisa membuatku semakin dekat dengannya. Karena sehabis dari sini aku akan sibuk kembali dengan pekerjaanku yang padat itu.

Sebenarnya dari awal aku menyuruh Demi untuk resign dari pekerjaan impiannya sedari dulu itu-Dokter. Yah, tapi mau bagaimana lagi, ia lebih keras dariku. Apalagi ia juga baru masuk menjadi dokter. Aku hanya tak suka Demi berbaur dengan dokter-dokter muda lainnya, yah siapa lagi kalau bukan Dokter Rangga. Menurutku Demi juga terlalu gampang percaya dengan orang lain. Bagaimana jika Rangga Rangga itu membuat gosip yang tidak-tidak tentangku? 

Lalu Demi percaya dan langsung membenciku. Hah. Sangat gila sekali. Apa aku harus mengeluarkan Rangga dari rumah sakit itu? Aku punya banyak kendali dan peran didalamnya. Tapi, jika aku mengeluarkan Rangga, pasti Demi akan marah besar padaku. Apalagi aku mengeluarkannya tanpa alasan. Bisa-bisa Demi mengadu ke mertuaku, lalu membicarakanku yang tidak-tidak padanya. Yah, mulut Demi memang tajam sekali jika sudah menggibahiku. 

Aku pernah sesekali mendengarnya menjelek-jelekkanku saat seminggu pertama kami menikah. Ia mengundang beberapa temannya kerumah lalu berkata yang tidak-tidak tentangku. Untungnya, teman-temannya tidak begitu percaya dengannya. Yah, walau awal-awalnya juga aku memiliki niat buruk untuk menikahinya. Tetapi, lama-lama aku merasa niat burukku lebih baik ku urungkan saja. 

Ya, karena perlahan aku bisa menerimanya dihidupku. 

"Dem, seandainya nanti kita tak searah, aku mohon padamu untuk tidak pernah melupakan semua kenangan yang sudah kita buat di hari kemarinnya. Aku sayang kamu, Dem."

"Engghh.."

Deg.

Bisa-bisanya ia terbangun setelahku berkata seperti itu. Ya tuhan, semoga saja dia tidak dengar. Yang harus ku lakukan sekarang adalah tenang, dan..tenang.

MIRACL(e)OVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang