TUJUH BELAS.

1.4K 208 14
                                        

Aku sangat menikmati jalan malamku dikota ini. Sungguh pengalaman yang takkan kulupakan seumur hidupku. Ditambah udara dan lampu jalan yang menjadikan kota ini terlalu romantis bagiku. Kulihat Arzu dengan kamera yang ia lingkarkan di lengan kirinya, baru tau juga kalau Arzu bisa mengambil foto dengan baik. Ku kira dia hanya bisa kerja saja. 

"Dem, nengok dong."

Ckrek!

"Ih Arzu! Aku belum siap tau!" Ujarku berusaha melihat hasil foto dikameranya.

"Gak papa." Jawabnya sambil menghindar agar aku tak melihat hasilnya. Huh, menyebalkan sekali bukan. "Kamu gak lapar, Dem?" Arzu kembali memperhatikanku disampingnya.

"Makannya habis dari Eiffel Tower aja. Soalnya katanya malam ini mau ada pertunjukkan lampu, makanya cepetan dong jalannya!" Aku menarik lengannya agar lebih fokus dalam berjalan, bukan fokus foto-foto.

Tanpa ku sadari, aku malah menggandengnya. Cepat-cepat aku melepas tautan tanganku dan tangannya, begonya juga Arzu tak menolak. Ia memang selalu mencari kesempatan dalam kesempitan. "Gak sengaja." Ujarku mengalihkan wajah darinya.

Arzu tersenyum. "Dasar modus."

"Enak aja!" Lawanku tak terima dibilang modus. Toh, jelas-jelas aku benar-benar tidak sengaja.

"Udah udah, nanti ketinggalan pertunjukan lampu trus marah lagi deh." Ujar Arzu sambil berjalan lebih cepat dariku. Sedangkan aku turut berjalan cepat dan membuntutinya dari belakang.

Bisa dibilang sangat senang sih untuk malam ini, jarang-jarang juga aku dan Arzu berjalan bersama, selangkah dan berirama seperti ini. Terdengar lebay memang, tapi memang benar adanya. Sebenarnya, dari awal aku kerja dirumah sakit Daddyku sendiri, Arzu sangat melarang keras diriku untuk bekerja karena ada satu dan lain hal. Tapi aku tetap batu dan keras kepala karena sampai sekarang aku juga tak tau alasan apa yang membuatnya melarangku seperti itu.

Jika dibilang lelah, yah, aku juga lelah bekerja. Tapi aku tidak ingin menjadi wanita monoton yang hanya mendapatkan uang dari bulanan suami saja. Ada kalanya pula, aku yang harus bergantian dengan Arzu. Mentraktirnya contohnya, ya walau ia selalu menolak keras saat aku mentraktirnya sekecil apapun itu nominalnya. Ia bilang, wanita tak pantas membayarkan lelaki. 

Padahal kan sekali-kali aku ingin mentraktir dan membuatnya senang, walau tidak tau juga sih Arzu senang atau tidak. Yang ku tau, semua orang pasti senang jika ditraktir. Toh, siapa sih yang tidak senang?

"Dem, lihat ke atas!" 

Khayalanku pudar seketika saat lampu warna warni yang berasal dari menara Eiffel itu mengarah ke penghujung-penghujung awan hitam dilangit kota Paris ini. Astaga, indah sekali!

Aku menikmatinya tak berkedip. Ya tuhan, aku benar-benar jatuh cinta dengan kota ini!

***

ARZU POV.

Sebenarnya, dari dulu aku punya bakat photography. Tapi karena pekerjaanku yang numpuk saja yang selalu membuatku tak punya waktu untuk memegang kamera lagi. Ah, untungnya aku bisa berlibur ke Paris. Bisa menikmati yang namanya The Real 'Jalan-Jalan' yang sesungguhnya, karena dari dulu aku jalan-jalan hanya panggilan pekerjaan saja. Ditambah dengan wanita menggemaskan disampingku ini.

Sedari tadi, aku memfotonya diam-diam. Aku suka saja entah kenapa. Aku tau, aku memang aneh.

Didepanku sudah ada dirinya yang sedari tadi benar-benar mengabaikanku karena kemilau indah lampu menara Eiffel didepanku yang sedang menyorotkan cahayanya ke berbagai sisi kota ini. Aku benar-benar sudah tidak dianggap lagi dimatanya karena ia yang terlalu fokus dengan cahaya indah di menara Eiffel ini. Lucu, walau menyebalkan sih.

MIRACL(e)OVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang