Reckless

298 6 0
                                    

Bagai goresan kuas di atas kain kanvas, jika tidak hati-hati, maka akan menghasilkan coretan yang tidak diinginkan.

• • •

Sesuai kesepakatan, kami berempat mengunjungi rumah Erick di akhir pekan. Akhir pekan di bulan Desember. Tidak ada salju turun. Yang ada hanyalah matahari dan awan yang menggumpal di udara. Hangat menyentuh kulitku, membuatku menatap sejenak palet cat warnaku yang didominasi oleh warna monokrom. Bernuansa sebaliknya.

"What the-?! Hei! Hati-hati!"

Suara cempreng Venn terdengar memenuhi studio pribadi milik Erick ini. Benar, lelaki itu punya studio seni sendiri di rumahnya yang besar ini. Dia secara terang-terangan bilang kalau ayahnya adalah seorang dosen seni di salah satu kampus Indonesia, dan ibunya adalah desain interior ternama.

Ruangan ini berukuran sedang dengan dinding putih, lantai sewarna, dan jendela besar serta balkon luas yang berhadapan langsung dengan pepohonan di belakang rumahnya. Baiklah, kembali ke apa yang barusan terjadi, Andrew yang merasa melakukan kesalahan langsung menatap terkejut Venn.

"Kau pikir aku sengaja?" tanya Andrew terdengar tersinggung. Yah, wajar saja. Jika aku berada di posisi Andrew dan mendengar Venn menyentakku, tentu saja aku akan tersinggung. Lalu seolah warna di paletku saja belum cukup menambah nuansa suram, ekspresi Andrew langsung berubah jadi suram. Aku meneguk salivaku susah payah. Kalau aku menyela mereka, apakah mereka akan balik memarahiku?

"Lihat? Lampunya tidak berbentuk seperti lampu lagi karena keteledoranmu itu," omel Venn sambil menunjuk lukisan Andrew dengan ujung kuasnya yang berwarna hitam. "Bisakah kau rileks sedikit? Aku bisa memperbaikinya," ucap Andrew sedikit menggerutu sebal karena ucapan Venn. Keadaan kembali hening setelahnya. Aku mendapatkan bagian untuk melukis siluet orang-orang yang sedang berjalan di pusat kota dengan latar langit mendung. Sedangkan yang lain melukis objek-objek di sekitarnya, seperti gedung, papan jalan, lampu lalu lintas, telpon umum, dan sebagainya. Lukisan ini nantinya akan menggambarkan suasana musim dingin di sebuah kota.

"Kau Devira, betul?"

Ucapan Venn membuatku tersentak, dan langsung mengangguki pertanyaannya yang terdengar masih sebal karena adu mulutnya dengan Andrew tadi. Sebenarnya aku takut kalau ia akan melontarkan ucapan sinis padaku lagi, seperti saat kami duduk berkelompok di kelas waktu itu.

"Apa benar kalian berdua anak pengusaha kaya di Australia itu?" tanya gadis bersurai pirang itu yang kuanggap merujuk ke diriku dan Greff. Entah mengapa, kata 'itu' tidak begitu enak didengar bagiku. Seolah-olah merujuk pada sesuatu yang menjadi bahan perbincangan banyak orang. Dengan sekali tarikan nafas, aku menjawab, "ya. Apa kalian mendengarnya dari gossip sebelum aku sampai di Indonesia, sampai kau bersikap seperti itu padaku?"

Tidak sampai sedetik, aku menyadari apa yang kuucapkan barusan. Kurasa aku terlalu berlebihan. Seharusnya aku tidak terbawa perasaan. Apalagi kini suasana yang timbul menjadi hening, lebih hening daripada sebelumnya. Tidak cukup sampai sana, tatapan terkejut mereka melengkapi ketegangan atmosfir di sini. Ah, rasanya aku ingin memutarbalikkan waktu lima detik yang lalu dan menahan lidahku agar tidak berkata seperti itu.

Tentu saja Venn langsung menatapku marah, dan aku bahkan sudah pasrah duluan terhadap apa yang akan dilakukannya padaku nanti. Refleks aku berhenti menggoreskan coretan kuasku karena merasakan atmosfirnya semakin menyesakkan.

"Kau-"

"Venn, dia belum tahu apa-apa. Maklumi saja."

Am I Alone?? (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang