Bukan Satu-Satunya

241 9 0
                                    

Aku sadar, aku bukan satu-satunya yang merasakan rasa sepi ini. Ada orang yang ingin berbagi sepinya bersamaku.

***

Aku menelpon ayahku sambil masuk ke lift, masih dengan perasaan gundah mendengar berita dari sopir pribadiku. Aku tidak akan cemas kalau hanya hubungan bisnis yang terputus. Namun, sebelum ini saja rasanya ikatan tali persahabatanku dengan Greff merenggang perlahan-lahan. Tidak ada yang boleh lebih buruk dari ini.

Melihat nomor ayahku yang tidak aktif membuatku hanya bisa berdiri dengan diam di dinding lift. Aku masih ingat jelas pertama kali aku bertemu dengannya, ketika keluarga Greff sedang terpuruk, lalu kedua orangtuaku mengulurkan tangan mereka dengan hangatnya ke keluarga itu. Kenapa... sekarang mereka berdingin hati pada keluarga Greff?

Apa mereka tahu aku sedang tidak akrab dengan Greff sehingga mereka memanfaatkan situasi ini? Ah, tidak mungkin! Mereka tidak sepicik itu!

Lift terbuka di lantai lima belas membuatku bergegas menuju ke kamar Greff dan mengetuk pintunya lagi, seperti sebelum aku pergi kencan dengan Kevin. "Greff! Kau dengar aku? Buka pintunya!" ujarku sambil terus mengetuk pintunya. Namun kemudian, aku mendengar suara kaca pecah di balik pintu ini.

"Greff!" teriakku panik karena aku tidak bisa membuka pintunya, yang mana artinya ia mengunci pintunya dari dalam. Aduh, mana aku tidak tahu apa yang ia lakukan di dalam! Aku menelpon Greff, berharap ia akan menjawab telponku. Namun beberapa saat kemudian ia tidak menjawabku. 

Argh! Kenapa harus sekarang, sih, orang-orang tidak menjawab telponku? Memang sih, sekarang sudah lewat tengah malam. Tapi, tetap saja. Ada masalah yang datang tanpa mengenal waktu, dan harus diselesaikan saat itu juga. Tak peduli mau itu pagi, siang, atau malam.

Waktu memang kejam. Waktu tak berbelas kasihan padaku untuk meluruskan masalah ini di pagi harinya.

Saat aku hendak pergi menemui resepsionis untuk membukakan pintu Greff dengan kunci cadangan, tiba-tiba pintu Greff terbuka, membuatku segera berbalik. Aku melihat Greff yang terlihat kacau dengan rambutnya yang berantakan.

"Ada apa?" tanyanya terdengar datar, membuatku seketika kehilangan nyaliku yang tadi begitu besar ketika mengetuk pintu unitnya seperti orang gila. "Aku tadi mendengar suara kaca yang pecah. Kau baik-baik saja?" tanyaku pelan lalu tatapanku beralih pada pecahan kaca yang berserakan di lantai rumahnya. Aku khawatir ia memecahkan sesuatu karena emosinya dan melukai dirinya sendiri.

Kulihat Greff hanya manggut-manggut kemudian mengambil sapu dan membersihkan kepingan kaca di lantai rumahnya. "Greff! Biarkan aku membantumu membersihkan pecahan kacanya," ucapku sambil melangkah masuk ke apartemennya, membuat laki-laki itu menoleh cepat ke arahku. Aku mengambil sapu lalu ikut membersihkan kepingan-kepingan kaca di lantai tanpa memedulikannya yang menegurku berkali-kali karena sudah masuk ke rumahnya.

"Oh, kau sebegitunya tidak menganggapku laki-laki, ya, sampai-sampai kau berkencan dengan Kevin."

"Apa maksudmu? Aku tidak pernah beranggapan begitu!" tukasku tajam mendengar ucapannya yang tidak masuk akal bagiku. Kami akhirnya hanya membersihkan kepingan kaca itu dalam diam. Hingga tiba-tiba, Greff berkata, "ini mengingatkanku pada masa lalu."

Seketika aku berhenti menyapu dan menoleh menatapnya penasaran. Ia yang langsung tahu makna tatapanku, langsung menjawab, "konflik keluargaku dengan Kevin di masa lalu." Aku terdiam mendengarnya. Saat ini saja, kemungkinan besar ia sudah tahu kalau ikatan kerjasama keluarganya dan keluargaku sudah putus. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya sekarang di balik tampangnya yang nampak tenang seperti biasanya itu.

Am I Alone?? (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang