gerbang sekolah ditutup tepat di depan wajahku.
aku menatap petugas kedisiplinan dengan bengis, kemudian mendecak sambil melangkah mundur.
dalam sepanjang perjalanan hidupku sebagai siswa sma, tidak pernah sekalipun aku terlambat masuk sekolah.
tidak, aku bukan murid yang disiplin waktu. hanya saja, aku handal mengendarai motorku. jadi aku bisa sampai di tepat waktu.
biasanya aku tidak pernah terlambat. semua ini gara-gara lia. dia masih mandi ketika aku sampai dirumahnya pagi ini.
mungkin dewi fortuna tidak berpihak padaku pagi ini.
aku mendesah pasrah, kemudian ikut duduk di samping murid-murid yang terlambat. termasuk lia. dia hanya cengegesan sambil menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya.
"lo, sih, pake telat bangun!" keluhku sambil melepas jaket merah marunku.
"semalem gue belajar sbm."
cih, mana mungkin seorang lia merelakan jam tidurnya demi belajar? akan kutraktir dia bakso segerobaknya jika itu benar.
"belajar? lia? yang bener aja."
"loh, iya. belajarnya 30 menit, netflixnya 4 jam." cengirnya.
tuh, kan. tidak mungkin dia sudi memegang buku sbm hingga larut malam.
"astaga, itu laki lo gak sih?" ujar lia tiba-tiba.
aku menoleh dengan cepat.
haris berjalan dengan ransel hitamnya yang bertengger manis dibahunya. dia memakai jaket bomber berwarna hijau tentara. atribut seragamnya tidak lengkap, tipikalnya.
ah, sedikit penjelasan. kenapa selalu temanku yang memberitahuku kalau ada haris? itu karena mataku menderita rabun jauh. jadi agak susah bagiku untuk mengenali orang dari jarak jauh.
"fix, gue jodohnya haris." kataku.
setelah doa selesai, kami disuruh berbaris di lapangan basket. guru tata tertib sudah berdiri sambil memasang wajah galak didepan, sudah siap mengomeli kita pagi ini.
untung saja pagi ini mendung, jadi kita tidak perlu berdiri di tengah teriknya matahari.
"hukumannya, kalian lari mutarin perumahan!" perintah guru tatibku.
aku meringis. sekolahku memang berada di sebuah perumahan, dan mengitari perumahan seluas ini bukan hal mudah bagiku.
aku lari sedikit saja sudah tidak kuat.
lia, sih, semangat-semangat saja. dia jago berlari.
benar, kan. saat hukumannya di mulai, lia sudah berlari jauh di depan sana.
persetan dengan lia dan kaki hebatnya, aku memilih untuk berjalan saja. bukan hal buruk, kok, untuk berjalan sembari menikmati pagi yang sejuk ini.
tiba-tiba saja ada seseorang berdiri di sampingku.
aku menoleh dan-
"haris?"
sial, aku bermaksud menyebut namanya dalam hati. tapi mulutku malah kelepasan menyebut namanya.
"hm?"
"eh, nggak." aku mengalihkan pandanganku.
tolong menjauh dariku, haris. mana bisa aku melihatmu dengan jarak sedekat ini dan berharap aku tidak mati kutu?
sekarang aku mempertimbangkan pilihanku untuk berlari secepat kilat menghindari haris.
ck, kenapa tidak ada lubang di tanah agar aku bisa masuk ke dalamnya dan menghilang dari permukaan bumi?
atau, kenapa aku tidak bisa menghilang seperti raib, tokoh dari novel milik tere liye?
aduh, pokoknya apa saja asalkan aku tidak harus berdiri dengan jarak sedekat ini dengan haris januar!
maksudku, astaga, haris yang luar biasa tampan ini berdiri dan bernapas di sebelahku, berjalan mengiringi langkahku. bagaimana aku tidak panik?
"kenapa jalan? kan, disuruhnya lari?" tanya haris tiba-tiba.
ya Tuhan, mungkin ini hari dimana aku seharusnya menghilang saja.
"lo sendiri kenapa jalan?"
wow, aku bangga dengan diriku yang tidak bergetar saat menjawab pertanyaan dari haris januar.
"mau nemenin lo. kasian, nggak ada temennya."
aku ingin menangis saja. kenapa cara bicaranya sangat menggemaskan? tidak adil. dia tidak boleh menjadi tampan, manis, dan lucu dalam waktu yang bersamaan!
"terserah." niatku mengatakannya dengan cuek, namun otot wajahku menghianatiku.
aku mengatakan itu sambil tersenyum dan tersipu malu.
astaga, kenapa aku sangat jago dalam hal mempermalukan diri sendiri?
haris menyebut namaku, aku langsung menoleh.
"kenapa telat?"
"hah?"
maaf, otakku masih belum bekerja dengan sempurna setelah mendengar namaku keluar dari mulut haris.
"kenapa pagi ini telat?"
"eh, itu, temen gue kesiangan. dia, kan, nebeng gue."
"sekarang mana temen lo?"
aku mengendikan bahuku. "penghianat. gue ditinggal."
haris tertawa. "gue orangnya nggak suka ninggal, kok."
aku hanya tertawa sebagai balasan. masih setengah tidak percaya aku bisa mengobrol berdua dengan haris ditengah-tengah hukuman terlambat begini.
oh, haris, sepertinya dewi fortuna sangat berpihak padaku pagi ini.