Kabur

13.5K 3.4K 1.2K
                                    

aku menyambar ransel biru mudaku, kemudian menyampirkannya di bahuku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

aku menyambar ransel biru mudaku, kemudian menyampirkannya di bahuku.

lia dan ara sudah menungguku di depan pintu kelas dengan ransel yang sudah terpasang sempurna di bahu mereka.

"lama amat, sih! buruan!" dumel ara.

"dih, ini lagi jalan. ayo cabut." kataku.

kemudian kita bertiga melangkah menjauhi ruang kelas, menuju tangga.

iya, kami berniat untuk kabur dari sekolah. bukannya apa, untuk apa berlama-lama di sekolah? toh, setelah ini juga tidak ada pelajaran karena guru-guru akan mengadakan rapat.

hanya saja, kami terpaksa lewat jalan lain karena gerbang utama dijaga oleh satpam. heran, padahal sudah tidak ada gunanya kita berada di sekolah. kenapa kita dipaksa untuk tinggal di sekolah?

"gerbang belakang dibuka!" seru lia pelan.

setiap hari jumat, gerbang belakang selalu dibuka karena ada sholat jumat di masjid sekolahku. maka dari itu lebih gampang untuk kabur, kan?

baru saja kami menuruni tangga, kami langsung berpas-pasan dengan haris dan keempat temannya.

tuh, aku kan sudah bilang kalau aku dan haris memang ditakdirkan bersama!

pandangan kami sempat bertemu, tapi aku langsung mengalihkan wajahku dan mempercepat langkah kakiku.

haris terlalu tampan, tidak baik untuk kesehatan rohani dan jasmaniku.

"disapa dong, pake malu-malu." celetuk ara.

"diem."

mengetahui fakta kalau haris sedang berjalan di belakangku saja sudah membuatku gugup setengah mati. apalagi menyapanya?

aku memang pernah sekali berbicara dengan haris, tapi bukan berarti jantungku tidak ingin meledak jika suatu hari harus berkomunikasi dengannya.

setelah berhasil keluar dari gerbang belakang, tiba-tiba saja ada guru dan dua petugas kedisiplinan berseru.

"mau kemana itu?!"

sontak semua yang hari itu berniat kabur langsung berlari dengan cepat. begitu juga dengan aku. aku ikut berlari dengan kencang.

tapi sekencang apapun aku berlari, tetap saja aku tertinggal. terbukti lia dan ara sudah tidak berada disebelahku lagi. teman sialan.

aku menoleh ke belakang, melihat ada dua petugas kedisiplinan yang sekarang ikut berlari untuk mengejar kami.

astaga, mungkin aku menyerah saja. mau berlari sekencang apapun pasti aku akan tertangkap.

dipanggil ke ruang bk sebelum lulus dari sekolah ini rasanya not bad.

disaat langkahku memelan, tiba-tiba saja ada seseorang yang menyambar tanganku, kemudian menarik tanganku sehingga membuatku kembali berlari agar bisa menyamai langkahnya.

astaga, aku tidak percaya,

"eh, haris?"

"udah, lari aja. gue tau lo nggak suka lari, tapi pengecualian buat hari ini, ya?"

aku mengangguk singkat. kemudian berlari sekeras tenagaku.

tanpa kami sadari, kami sudah jauh dari dua petugas kedisiplinan yang mengejar kami tadi.

napasku sudah tidak beraturan. aku berusaha mengatur detak jantungku sambil membenahi rambutku yang acak-acakan. sedangkan haris rambutnya sudah basah karena keringatnya.

makin susah bernapas rasanya.

heran, haris makin terlihat tampan ketika berkeringat begini.

"katanya nggak bisa lari? itu tadi bisa." ujarnya.

"kan, kepepet. makanya bisa. tapi ya gitu, ini dada gue udah sakit rasanya."

tiba-tiba haris menatapku khawatir.

"lo punya asma atau penyakit apa, gitu? kalo iya, sorry ya gue udah ngajak lo lari bareng."

nggak, haris. kamu tidak tahu saja kalau selama berlari tadi rasanya sangat ringan.

kan, larinya sama lo.

"nggak tau, sih. tapi tiap lari rasanya sesak, aja."

haris meringis. "tau gitu gue gendong aja,"

sebentar, apa?

aku dengan cepat menoleh ke arah haris dan menatapnya aneh.

"gimana?"

"gue gendong. mampus lah, gue, kalo bikin anak orang kenapa-napa." ujarnya sambil menyengir lucu.

masih tidak percaya senyuman haris ditujukan untukku.

"santai aja, gak bakal mati, kok." ujarku santai, walaupun sebenarnya aku sudah menjerit dalam hati.

haris mengangguk, kemudian berdiri dengan tegap.

"ayo, gue anterin ke temen-temen lo."

"nggak usah dianterin kali. parkiran gue gak jauh dari sini,"

"entar kalo ada satpol pp lagi, gue hajar itu dua anak." sungutnya.

aku tertawa. "main hajar aja, emang lo dilan?"

"kalo gue dilan, lo harus jadi mileanya, ya?"

aku kembali tertawa, kemudian berjalan meninggalkan haris duluan.

bukannya apa, mana bisa aku menahan rona merah dipipiku setelah haris berujar seperti itu?

"eh, milea! tungguin!"

oh, haris, aku akan dengan senang hati menjadi mileamu. tapi, bukannya dilan dan milea pada akhirnya tidak bersatu?

a/n: kalian yang pingin tau faceclaimnya 'aku' harus bersabar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

a/n: kalian yang pingin tau faceclaimnya 'aku' harus bersabar. nanti di akhir cerita ini aku kasih tau, hehe💕

oh, harisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang