aku memarkir motorku sembari menyumpah serapahi lia berulang kali.
ceritanya begini,
hari ini aku kesiangan. sebenarnya aku bisa saja sampai di sekolah tepat waktu, tapi aku harus menjemput lia. eh, sampai dirumahnya, dia berkata padaku kalau dia sakit dan menitipkan suratnya padaku.
alhasil, aku sampai di sekolah tepat pada saat gerbang di tutup.
aku merutuki diriku dalam hati. andai saja aku tidak nekat melakukan maraton drama semalam, pasti aku bisa bangun lebih pagi.
gerbang sudah ditutup. guru tata tertib dan beberapa petugas kedisiplinan sudah berdiri di dalam sambil memasang wajah mengintimidasi mereka. beberapa murid yang terlambat juga terlihat sedang duduk di dalam sana.
"gue gak mau dihukum lagi..." gumamku. posisiku sekarang masih berada di parkiran.
serius, deh, aku lebih baik membolos daripada harus dihukum lari seperti dua minggu yang lalu, atau membersihkan halaman sekolah.
mana kali ini aku sendirian. mau bolos takut, mau masuk juga malas dihukum karena tidak ada temannya.
tiba-tiba saja aku teringat jalan bobolan yang biasanya digunakan untuk menyelinap masuk ke sekolah.
"ah, nggak, deh. entar cowok doang isinya," gumamku lagi.
tapi disinilah aku, di belakang sekolah. memandangi lubang di tembok sekolahku yang lumayan besar. heran, kenapa sekolahku tidak segera memperbaiki tembok ini?
aku sedikit ragu. lubangnya berada di bagian bawah tembok, dan lubang itu menembus ke daerah sekolahku yang sepi dan tidak terpakai (bahkan akan dihancurkan untuk dibuat gedung baru).
"serem, yakali gue jalan sendirian?"
akhirnya aku memilih untuk membatalkan niatku. mungkin lebih baik aku membolos saja.
"eh, lo lagi,"
aku menoleh, mendapati haris berdiri tidak jauh dariku.
"haris lagi, haris lagi." ujarku berusaha santai.
aku tidak sesantai itu. sebenarnya aku ingin sekali berteriak dan berterima kasih banyak kepada Tuhan yang selalu mempertemukan aku dengan haris.
"telat lagi? dan sekarang mau lewat jalan bobolan?"
aku menyengir sambil mengangguk. "iya, males dihukum."
"soalnya males lari?"
"kayaknya yang lo inget dari gue cuma bagian gue payah larinya, ya?" candaku.
haris tertawa. "nggak juga, sih,"
mataku memicing. "terus?"
"gue inget lo senyumnya manis."
apa? barusan haris bilang apa?
sinting, haris januar sinting!
aku hanya tertawa sambil memalingkan wajahku. aku tidak ingin haris melihat betapa salah tingkahnya aku karena perkataannya.
"udah, ah. mending lo bantuin gue masuk lewat lubang sekecil ini."
aku melepas ranselku, kemudian mengarahkannya ke haris. "bawain bentar," pintaku.
haris menurut. kemudian aku mulai berjongkok, mengira-ngira apa cukup tubuhku melewati lubang ini?
"rambut lo diiket dulu biar nggak nyangkut."
"ambilin jedai yang nyantol di tas gue, dong,"
kemudian aku kembali fokus menghitung presentase keberhasilanku memasuki lubang itu tanpa bertingkah memalukan di hadapan seorang haris januar.
namun aku terkejut saat ada tangan meraih rambutku.
"eh?"
"cara masang jedai gimana, sih?"
tidak bohong, deh, rasanya otakku sudah tidak tersambung dengan seluruh tubuhku.
rasanya seperti seluruh anggota tubuhku kaku. bernapas saja menjadi sulit. hanya suara detak jantungku yang tidak aturan ini saja yang terdengar di telingaku.
semua itu terjadi karena haris-fucking-januar entah darimana mempunyai inisiatif untuk memegang rambutku.
"n-nggak akan tau, lo. udah siniin jedai gue!"
aku merebut jedaiku dari tangan haris dengan cepat, kemudian memasangnya dirambutku. sedangkan haris sedari tadi menyaksikanku memasang jedai dengan serius, lucu.
"wah, bener ya," ujarnya tiba-tiba.
astaga, haris, kamu diam sebentar apa tidak bisa, ya?
"apa?"
"cewek kalo lagi ngikat rambutnya makin keliatan cantik."
memang rencana haris hari ini adalah membunuhku, ya?!
"apaan, sih."
dengar, aku harus bersikap sok jutek agar manusia tampan ini tidak tahu kalau aku menyukainya, ya.
tidak mau terlalu memikirkan omongan haris, aku langsung masuk ke lubang itu. setelah berhasil, haris menyerahkan ranselku dan ranselnya ke aku.
haris berhasil melewati lubang itu dengan mudah, seolah-olah dia sudah sering melakukannya.
"nyadar gak, sih, kita selalu ketemu waktu lagi ngelakuin hal-hal terlarang?" tanyanya tiba-tiba.
aku mengangguk. memang benar, saat kita terlambat, kabur dari sekolah, dan sekarang masuk ke sekolah lewat jalur gelap seperti ini.
"kayaknya takdir, eh,"
sumpah, aku bermaksud mengatakan hal itu dalam hati!
haris menoleh, kemudian tersenyum lebar sampai-sampai matanya menghilang.
"boleh juga."
oh, haris, kalau kamu semanis ini, bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta denganmu?