"gue sama lia halangan, lo sholat sendiri sana."
aku merengek. "dih, gak bilang daritadi kalo lo pada halangan. tau gitu kan, gue bareng yang lain!"
"lo sendiri tidur kagak bangun-bangun!"
aku mendecak, kemudian menyambar mukenah dari atas mejaku, dan berlari keluar kelas.
masjid sekolah sudah sepi. benar-benar sepi.
mungkin karena sekarang sudah memasuki jam pelajaran, ditambah waktu sholat dhuhur sudah mau habis.
aku kalau sudah menjadi satu dengan lantai kelas ya, gitu,
susah dipisahkan.
tidak tahu kenapa lantai kelas walaupun keras begitu sangat enak dibuat tidur. giliran sudah sampai rumah, kasur empuk seperti apapun tetap saja susah membuatku terlelap.
sepertinya kalau aku lulus nanti, aku akan membawa lantai sekolah sebagai kenang-kenangan.
sesampainya di dalam masjid, aku melemparkan mukenahku asal, kemudian berlari ke arah tempat wudhu perempuan.
tapi,
"kerannya mati? anjir," gumamku.
opsi terakhir adalah wudhu di tempat wudhu laki-laki.
awalnya aku ragu. namun mengingat masjid sesepi ini, aku menjadi 'bodoh amat' dan melangkah ke tempat wudhu laki-laki.
baru saja sampai, aku dikejutkan oleh kehadiran seseorang.
ya, siapa lagi kalau bukan bintang dari cerita ini, haris.
"lah, kok baru sholat?" tanyanya.
sebenarnya aku kesusahan untuk mencerna pertanyaan haris.
habis, haris sekarang luar biasa tampan dengan rambut basahnya karena air wudhu. apalagi dalam jarak sedekat ini.
astaga, mau sholat saja cobaannya sebesar ini.
"ketiduran. lo sendiri kenapa juga?"
haris tersenyum lucu. "sama, gue juga ketiduran. habisnya, lantai kelas enak banget dah dibuat tidur."
"sepemikiran, deh. rasanya pengen bawa pulang lantai sekolah aja!" balasku tanpa berpikir panjang.
"wah, boleh tuh! ayo entar nyuri lantai sekolah?"
aku tertawa. sepertinya aku dan haris berbagi sel otak yang sama.
jodoh.
"eh, sholat jamaah, yuk? lo imamnya."
kemudian haris terdiam.
"mana boleh? jamaah berdua bukan muhrim, kan haram?"
aku langsung meringis.
tolol, bodoh, bego, dan kawan-kawannya mungkin sangat cocok untukku.
aku tahu jelas, tapi kenapa?
mulutku mengeluarkan kata-kata memalukan itu?
"a-astaga, iya, hehe. sorry, aduh malu banget,"
ya Tuhan, jika ini waktu yang tepat untuk melenyapkanku dari permukaan bumi, maka lakukanlah!
haris justru terkekeh geli. pasti dia telah melihatku sebagai perempuan terbodoh di alam semesta ini.
"sabar, ya. nanti kalo kita udah muhrim, kan bisa sholat bareng tiap hari?"
eh, gimana...
"emang bisa kita tiba-tiba jadi sedarah gitu? saudara?"
tawa haris menjadi-jadi. matanya membentuk bulan sabit, gemas, deh. tapi apa dia tertawakan?
"astaga, bener-bener, ya? lo lucu banget sih?"
gue ngapain?
"hah?"
"maksud gue, kalo lo udah jadi istri gue nanti. kan udah muhrim, tuh?"
tiba-tiba aku merasakan pipiku menghangat.
ah, sialan! jangan sampai haris tahu pipiku memerah karena ucapannya barusan!
"udah, udah! sana sholat, gue mau wudhu!"
kemudian aku berjalan menjauhi haris dengan cepat, dan segera mengambil air wudhu sembari memikirkan cara memusnahkan diri sendiri dalam waktu singkat.
setelah itu, aku berjalan ke dalam masjid. sedikit lega melihat haris sudah menghilang. bisa gila aku kalau dia terus-terusan berada di dekatku.
aku baru saja memasang mukena ketika melihat ada kepala muncul dari pembatas masjid.
"haris ngapain?" tanyaku.
haris menyengir, kemudian melambaikan tangannya.
"nungguin lo. katanya sholat bareng?"
aku menatap haris tidak percaya, kemudian tertawa.
oh, haris, kalau kamu begini terus jangan salahkan kalau aku ingin menikah denganmu.