Selepas pertemuannya dengan Ardit, Rindai benar-benar terlihat kacau. Kelopak matanya terasa berat. Rindai takut untuk melihat kaca, pasti wajahnya tampak mengerikan.
"Dai!" panggil seseorang dari luar kamarnya.
Rindai terkesiap. Terdengar ketukan pintu dari luar. Dia masih diam di tempatnya karena saat ini sedang dalam mode malas untuk bertemu dengan orang lain. Malas jika orang yang ditemuinya bertanya macam-macam tentang penyebab mengapa matanya membesar.
"Dai, buka pintunya! Bantu gue, please..."
Ragu-ragu langkahnya mendekat ke arah pintu. Rindai buru-buru memakai hijabnya. Yudhis beberapa kali merengek mengatakan ingin dibantu. Saat pintu dibuka, Yudhis menunduk sambil memasukkan tangan ke saku jaketnya. Kemudian dia menatap ke mata Rindai dengan tatapan memelas.
Yudhis mendekat, "gue pusing, Dai. Benar-benar pengin nyerah."
Perlahan Yudhis menyodorkan sebuah kertas bertuliskan skripsi miliknya. Rindai melirik benda itu dengan menaikkan alisnya sebelah.
"Gue butuh teman diskusi. Lo mau bantu gue?" tanya Yudhis dengan wajah frustasi.
Sambil mengambil skripsi Yudhis, Rindai berjalan ke luar menutup kamarnya. Rindai membolak-balik halaman skripsi itu. Di sana penuh dengan coretan-coretan tulisan yang sulit dibaca. Lebih parah daripada tulisan Ijang.
"Please, Dai..."
Rindai menutup skripsi itu sambil menatap Yudhis, "ke ruang tengah aja, Dhis."
Yudhis tersenyum mengangguk. Dia berjalan mendahului Rindai menuju ruang tengah. Memang tempat itu sangat cocok untuk melakukan pembicaraan yang serius. Kebetulan di sana sedang tidak ada siapapun.
"Lo mau minum apa, Dai?" tanya Yudhis tiba-tiba.
Rindai terkekeh geli melihat Yudhis yang mandadak jadi baik, "es teh aja."
Secepat kilat Yudhis berjalan ke warung Bang Min membeli secangkir es teh buat Rindai. Sambil menunggu Yudhis kembali, Rindai membolak-balikkan lagi skripsi itu. Dia jadi ikut-ikutan pusing sama seperti Yudhis.
"Gimana, Dai?" Yudhis duduk sambil menaruh secangkir teh di atas meja.
Setelah memeriksa sebisanya, Rindai menemukan sebuah kesalahan di sana, "di bagian latar belakang masalah emang ada beberapa paragraf yang kurang singkron,"
"Nah, itu dia masalahnya. Bolak-balik baca bagian itu gue belum nemu bagian mana yang enggak singkron."
Telunjuk Rindai mengarah ke bagian paragraf akhir latar belakang masalah, "dari pembahasan umum di paragraf awal terus tiba-tiba bahas yang ini di paragraf akhir emang alurnya terlalu cepat, Dhis."
Yudhis tampak serius memperhatikan telunjuk Rindai yang bergerak-gerak di sana. Seakan skripsinya itu sebuah alur film yang ceritanya harus jelas dan runtut.
Pria itu tampak sibuk dengan pikirannya, "enaknya bahas apa, Dai?"
Rindai menggaruk kepalanya dengan pulpen milik Yudhis, "coba bagian ini taruh di sini. Nyambung nggak?"
"Bentar. Bentar!"
Buru-buru Yudhis membuka laptopnya. Dia membuka dokumen skripsinya lalu membenarkan kesalahan yang Rindai katakan. Sementara Rindai hanya diam memperhatikan layar laptop sambil menyeruput es teh yang dibeli Yudhis.
"Wow, it worked, Dai. Lihat ini!"
Kursor itu digulirkan dari awal paragraf sampai ke akhir. Rindai membacanya berulang kali. Kemudian perlahan kepalanya mengangguk. Tanda dia setuju dengan Yudhis. Lelaki itu terlihat sangat bahagia sekali. Seakan dengan senyumnya Rindai menyimpulkan bahwa seluruh beban yang Yudhis punya perlahan menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Turtle Meets A Dog
ChickLitKlien adalah manusia paling random bagi seorang marketing officer radio seperti Rindai. Entah itu soal reaksi yang muncul, bagaimana bentuk wajahnya, dan di mana keberadaan seorang klien semuanya seperti alur cerita yang unpredictable. Mencari klien...