Epilog.

10.1K 648 98
                                    

Setelah mengiyakan ucapan Erkan, Rindai dengan cepat dibawa oleh lelaki itu ke Bandung. Tujuannya adalah untuk menemui orang tua Rindai. Erkan ingin meminta restu terlebih dahulu sebelum melamar Rindai secara resmi.

Ketika berada di dalam kereta, mereka saling diam. Tidak mengucap sepatah kata pun. Rindai terlalu bahagia sekarang. Penantian dan rasa sakit yang pernah dia rasakan dulu kini perlahan sirna karena dia hampir mendapatkan seluruh kebahagiaannya. Erkan adalah bahagianya.

Tapi entah apa yang ada di pikiran lelaki yang duduk di sampingnya, Rindai sesekali mencuri-curi pandang kepada Erkan yang asyik melihat ke arah jendela. Saat menolehkan kepala, Erkan tersenyum pada Rindai.

"Kenapa?" tanya Erkan lembut.

"Lo sendiri kenapa? Kayaknya pikiran lo lagi sibuk banget ya?"

Erkan mengarahkan tubuhnya menghadap Rindai. Dia terdiam sambil memandangi Rindai. Tentu hal itu tidak bisa Rindai biarkan. Dia langsung menoleh ke samping untuk menghindari tatapan Erkan yang sangat berbahaya bagi hatinya.

"Rindai."

"Ya," jawab Rindai tanpa menoleh.

"Bisa lihat ke sini?"

Rindai menelan ludahnya. Bak pintu yang memiliki angsel berkarat, Rindai seperti kesusahan hanya untuk menengokkan kepala seperti yang Erkan minta. Kini dia sudah menghadapkan kepala tetapi matanya malah menatap jendela.

"Kayaknya kita harus bikin kesepakatan dari sekarang. Karena hal-hal kayak gini memang perlu dibicarakan. Demi kelangsungan rumah tangga kita nanti."

Rindai refleks menatap mata lelaki itu. Hatinya sudah makin berdebar-debar. "Kesepakatan apa nih?" tanya Rindai dengan suara yang seperti tertahan.

"Hal sekecil ini kayak panggilan 'lo-gue' harus mulai dihilangkan. Coba aja bayangin ketika kita udah nikah dan masih panggil 'lo-gue' apa kata orang-orang entar?" tanya Erkan serius. "Ya walaupun bakal terasa aneh. Tapi kalau kita biasakan untuk melakukannya, hal kayak gitu gak bakal terasa aneh lagi. Mau nyoba, Rindai?"

Rindai tertawa, "kirain mau bikin kesepakatan soal apa. Bikin deg-degan aja sih!"

"Emang kamu mikirin kesepakatan soal apa?" tanya Erkan terkejut.

Rindai menghentikan tawanya. Transisi panggilan dari 'lo-gue' menjadi 'aku-kamu' membuat hati Rindai merasakan suatu keanehan. Hanya mendengar Erkan memanggil 'kamu' kepadanya membuat Rindai merasa menjadi manusia paling spesial di dunia ini. Apakah dia sudah mulai semakin lebay layaknya anak SMA yang baru saja merasakan pacaran?

"Enggak. Gak mikirin apapun. Lagi blank nih otak," jawab Rindai bohong.

Erkan kemudian tertawa sebentar. Lalu dia menatap lekat mata Rindai lagi, "aku harus bilang apa ke orang tuamu nanti, Rindai?"

Sebelum Rindai menjawab, Erkan menyela ucapannya, "dari awal naik kereta, aku mendadak kayak terkena anxiety. Otakku sibuk mikirin gimana respon orang tuamu nanti. Mereka merestui pernikahan kita enggak? Mereka suka sama aku nggak? Apa yang harus aku lakukan nanti?"

Rindai melipat bibirnya yang sedang tersenyum lebar. Semua kata-kata yang keluar dari mulut Erkan terasa seperti madu yang terdengar manis sekali di telinganya.

"Rindai? Kok malah ngelamun?" tanya Erkan melambaikan tangan di depan wajahnya.

"Kamu gak perlu khawatir soal itu. Mendengar anaknya laku aja orang tuaku udah pasti senang kok. Apalagi yang mau nikahin aku itu cowok baik dan ganteng kayak kamu," ucap Rindai dengan cengiran lebar.

Erkan tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Lelaki itu seperti tidak percaya dengan apa yang dikatakannya tadi. Rindai sendiri merasa kaget dengan skill sepiknya yang mendadak meningkat. Kenapa tidak seperti ini ketika dia menemui klien-kliennya dulu?

A Turtle Meets A DogTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang