Di dunia ini terlalu banyak keadaan yang tidak sejalan dengan keinginan. Rindai berdiri memandang sebuah restoran cepat saji di depannya. Tangannya berada di depan wajah untuk menutupi sinar matahari yang menyilaukan mata. Dia baru saja diperlakukan dengan tidak baik oleh owner restoran itu.
"Ke mana habis ini?"
Rindai bermonolog ria sambil menghidupkan motornya. Berbincang dengan diri sendiri kadang bisa melenyapkan amarah yang ada pada dirinya. Dibalik masker yang digunakan untuk menutupi hidung dan mulutnya, dia tidak perlu malu ketika dilihat orang lain berbicara sendiri. Inilah fungsi masker, selain bisa menjadi pelindung dari debu yang masuk bisa juga jadi penutup rasa malu.
Hari ini dia sudah berkeliling mendapatkan 5 alamat klien. Sangat melelahkan memang karena perjuangan membujuk klien adalah pekerjaan yang luar bisa bagi dirinya yang menjadi seorang marketing officer. Apalagi yang dia tawarkan adalah di bidang jasa iklan di radio. Dia perlu mengubah stigma masyarakat yang masih menganggap bahwa radio merupakan media buta yang hanya bisa dinikmati secara audio tanpa visualisasi. Padahal di jaman serba digital dan di jaman serba online ini media radio telah diinovasikan sedemikian rupa oleh para pebisnis di bidang siaran. Bahkan walau dirinya melakukan persuasi sampai keluar retorasi tetap saja praktiknya tidak mudah.
Rindai menepikan motor manakala ponselnya berbunyi. Dia langsung menatap layar. Ada nama Yudhis yang terpampang. Buru-buru Rindai mengangkat telepon.
"Assalamu'alaikum..Halo, Dhis?"
"Jam istirahat udah datang. Lo makan di mana?" tanya Yudhis.
"Makan di mana aja jadi gue sih," jawab Rindai.
Ada jeda sebentar sebelum Yudhis berbicara lagi.
"Kalau lo lagi keliling dan kebetulan lewat sekitar kampus, berhenti ya. Gue mau ngomong."
Yudhis mengiriminya alamat sebuah kafe yang berada dekat dengan kampusnya. Dia penasaran hal apa yang ingin lelaki itu katakan padanya.
Ketika Rindai sudah berada di dalam kafe itu, dia mengedarkan pandangannya mencari sosok Yudhis. Di ujung sana ada Yudhis yang melambai ke arahnya sambil tersenyum lebar. Rindai mendekat, "lo mau ngomong apa sih, Dhis?"
Sambil menyenderkan tangannya di bahu kursi, Yudhis menepuk kursi di sebelahnya dengan tangannya yang lain, "duduk dulu kek. Lo mau pesan apa?"
"Mana buku menunya?" tanya Rindai.
Yudhis menyerahkan sebuah buku menu di depannya. Rindai mencari-cari makanan yang dia suka dan harganya tidak terlalu mahal yang sesuai dengan kantongnya, "ayam geprek level 3 sama es teh."
Tidak sampai menunggu terlalu lama, makanan yang dipesan mereka sudah dihidangkan di depan mereka. Rindai langsung menyantap habis makanan itu dengan semangat 45. Yudhis hanya memandangnya dengan pandangan takjub seolah lelaki itu menganggapnya tidak pernah anggun kalau soal makan. Rindai bersikap masa bodo. Masalah perut dilarang jaim biar kenyang.
"Udah makannya?" tanyanya tiba-tiba.
Rindai mengelus perutnya seperti seorang ibu yang sedang hamil. Bedanya yang ada di dalam perutnya itu isinya full makanan, "alhamdulillah. Kenyang gue, Dhis."
Yudhis berdecak, "ngeri. Siklus akhir bulan lo sebagai anak kos ternyata begini."
"Kenapa emang?"
Yudhis tidak menjawab. Dia tiba-tiba menyodorkan sebuah screenshoot chat Whatsapp sebuah grup dari ponselnya, "tiga minggu lagi jurusan gue bakal adain kayak semacem dies natalis gitu. Dan gue butuh media partner, Dai."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Turtle Meets A Dog
Literatura FemininaKlien adalah manusia paling random bagi seorang marketing officer radio seperti Rindai. Entah itu soal reaksi yang muncul, bagaimana bentuk wajahnya, dan di mana keberadaan seorang klien semuanya seperti alur cerita yang unpredictable. Mencari klien...