"Hei, awas itu gelasnya pecah!" teriak Rindai.
Gerakan Ijang mengaduk creamer di dalam gelas kaca dengan sendok sangat mengganggu Rindai. Suaranya benar-benar bising karena Ijang mengaduknya dengan kekuatan super. Sebentar lagi mungkin saja gelas itu bakal pecah kalau Ijang terus-terusan mengaduknya seperti itu.
"Coba deh lo minum. Creamernya pasti udah merata tanpa lo ngaduk selebay itu!" ucap Rindai kesal.
Ijang berhenti mengaduk. Dia menghempaskan tubuhnya ke bahu kursi, "lo aja yang minum."
Rindai ternganga. Buat apa Ijang mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengaduk creamer tapi malah tidak diminum.
Tapi akhirnya Rindai malah melakukan apa yang diperintahkan Ijang tadi. Rindai langsung meminum creamer itu sampai habis hingga tidak tersisa setetes pun.
"Emang gitu ya, Dai?"
Rindai yang tidak mengerti arah pembicaraan Ijang hanya bingung,
" 'Gitu' gimana?""Akhirnya gue merasakan apa yang lo rasakan sekarang ini," katanya lemas.
"Gue masih belum mudeng sama poin pembicaraan lo sekarang, Jang."
Ijang menghembuskan nafasnya dengan ekspresi lelah. Dia menggelosorkan tubuhnya dari kursi yang dia duduki.
"Gue capek Dai," ucap Ijang. "Awal banget gue PDKT ke Getsa sampai sekarang, tuh cewek gak ngasih sedikit pun tanda-tanda suka ke gue. Kayak yang lo kalau ketemu sama pengemis di jalan dan lo gak punya duit, akhirnya lo gak ngasih apapun ke pengemis itu."
Rindai berdecak sambil menggeleng, "kasihan benar si pengemis itu."
Ijang meliriknya sengit, "hei, yang harus lo kasihani tuh gue. Bukan pengemisnya!"
Rindai menggelengkan kepalanya, "gue sih ogah dikasihani. Tanpa mendapat simpati atau rasa kasihan dari orang lain gue masih bisa menjalankan kehidupan gue secara normal."
Dengan wajah super betenya, Ijang langsung beranjak. Tapi Rindai cepat-cepat menyeret ujung kaos Ijang agar lelaki itu mau duduk kembali di atas kursi.
"Duduk dulu napa sih? Cerita tuh kalau belum selesai, selesain dulu. Jangan buru-buru pergi," ucap Rindai. "Lagian lo baperan amat digituin langsung cabut."
Lelaki yang sudah duduk kembali di depan Rindai itu kini hanya terdiam. Dia tidak membalas apapun ucapan Rindai tadi.
"Gini, dari sekian proses PDKT lo ke Getsa, apa lo pernah menyatakan perasaan lo ke dia?" tanya Rindai. "Maksud gue, lo pernah bilang suka ke dia entah itu lewat WA atau ngomong secara langsung like face to face gitu?"
Ijang menggelengkan kepalanya lemah.
Rindai terbawa emosi. Kemudia dia menggebrak meja, "lo bilang dong!"
"Hey, lo sendiri pernah bilang ke Erkan kalau lo suka sama dia? Sementara dari gesture, atau tatapan matanya pun lo udah bisa menebak kalau dia gak suka sama lo?" tanya Ijang telak.
Rindai menelan ludahnya sendiri. Bagi Rindai pertanyaan Ijang tadi terlalu menohok perasaannya. Untuk beberapa detik Rindai terdiam.
"Gue bisa aja bilang ke Erkan. Tapi gue paham dong posisi gue di sini kayak gimana," bantah Rindai. "Gue emang lebih lama berkecimpung soal ginian dibandingkan lo. Tapi ya maaf aja, gue nggak se-desperate lo. Makanya, jadi cowok yang semangat dong. Jangan gampang nyerah!"
Di dalam dapur itu, mereka saling berdiam diri tanpa bersuara lagi. Mungkin mereka sedang menikmati nasib sebagai orang yang memiliki kisah cinta yang sama-sama ngenes.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Turtle Meets A Dog
أدب نسائيKlien adalah manusia paling random bagi seorang marketing officer radio seperti Rindai. Entah itu soal reaksi yang muncul, bagaimana bentuk wajahnya, dan di mana keberadaan seorang klien semuanya seperti alur cerita yang unpredictable. Mencari klien...