Takut, Mengeluh, & Terkejut.

4.6K 563 4
                                    

Jika banyak orang yang suka hujan, maka Rindai sebaliknya. Selain hujan, Rindai tidak suka gelap, nomor telepon tak dikenal, dan panggilan Alota untuknya.

Rindai duduk di atas kasur sambil memeluk lututnya. Kedua tangannya ia taruh di atas kepala agar otaknya tidak terus-terusan mengingat kejadian yang seharusnya dia tidak ingat. Semua hal yang tidak dia suka itu baru saja menimpanya. Ponselnya sudah jatuh terbelah dua di bawah kasur. Rindai spontan melempar ponselnya saat tiba-tiba dia dikirimi sebuah foto oleh nomor tidak dikenal. Lagi-lagi foto yang menunjukkan di mana dirinya berada saat ini.

Mengunci diri di dalam kamar adalah hal terbaik. Mana mungkin orang itu akan mengirim foto keberadaannya di kamar sementara pintunya sudah dia kunci rapat-rapat. Rindai terus saja dalam keadaan seperti itu karena baginya berbaring pun percuma. Matanya sama sekali tidak bisa memejam walau sebentar.

Rindai mendongakkan kepala saat mendengar sebuah ketukan pintu yang keras. Begitu sadar, dia beristighfar dalam hati. Rasanya tubuhnya pegal karena sudah lama dia terjaga dalam keadaan seperti itu. Bunyi pintu semakin terdengar keras lantaran pintu itu tak kunjung dia buka. Takut jika dia membuka pintu malah si pengirim foto itu yang dilihatnya. Rindai memeluk lututnya lebih erat.

"Buka, Dai. Gue nih!"

Rindai mengenal suara itu. Dia segera mengubah posisi duduknya. Lalu perlahan berjalan mendekati pintu. Saat pintu itu dibuka, Yudhis malah pasang muka cemberut, "buka pintu aja lama. Ngapain sih?"

Rindai tidak menjawab. Dia melihat ke sekeliling. Hari sudah pagi rupanya. Semburat matahari mulai muncul di ujung sana. Dia sudah lama bergelung dengan ketakutannya dari sejak malam tadi. Rindai mengalihkan tatapan karena terkejut oleh tingkah Yudhis yang tiba-tiba mendaratkan telapak tangan pada keningnya.

Rindai menurunkan tangan Yudhis yang sudah lancang memegang dahinya, "apaan sih?"

"Lo sakit, Dai?" tanya Yudhis penasaran.

Rindai cepat menggeleng, "enggak!"

Rindai segera akan menutup pintunya. Dia merasa terganggu oleh tatapan Yudhis yang kini semakin tajam memperhatikan dirinya. Namun usahanya gagal karena Yudhis berhasil menahannya, "ikut ke kampus yuk? Lihat dies natalis jurusan gue. Katanya lo suka Fivethrty?"

"Gak bisa," jawab Rindai.

Sejujurnya dia ingin sekali ke kampus Yudhis menonton band Indie favoritnya itu. Tapi moodnya dari semalam belum baik juga. Jadi dia pikir diam di kosan seharian bukan masalah baginya.

"Bisa, gue udah bilang ke bos lo kok!"

"Gak bisa Yudhis," ucap Rindai malas.

"Bisa, Dai."

"Gak bisa!"

"Bisa!" Yudhis tetap tidak mau mengalah.

Rindai menyerah. Dia tidak terlalu suka dengan perdebatan. Tidak baik rasanya mengawali pagi hari dengan perdebatan. Apalagi kepalanya masih pusing karena semalaman dia terjaga. Rasanya akan lebih pusing jika mendengar Yudhis mengoceh lebih banyak lagi.

"Gue mandi dulu," kata Rindai pada Yudhis.

Saat Rindai hampir menutup rapat-rapat pintunya, tiba-tiba Yudhis mencegahnya lagi. Tindakan Yudhis membuatnya sedikit geram. Dia memberi Yudhis dengan pelototan tajam dan siap memarahi lelaki itu.

"Eh Dai, hape lo kok hancur gitu?" tanya Yudhis penasaran ketika melihat ponsel Rindai tergeletak di bawah kasur.

Jantungnya berdegup kencang. Rindai terlalu gugup untuk menjawab pertanyaan Yudhis. Akhirnya Rindai memilih untuk tidak menjawab dan langsung menutup pintu kamarnya tanpa peduli apapun lagi.

A Turtle Meets A DogTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang