Di dalam kamar yang tidak terlalu kecil. Dihiasi cat berwarna pink berpadu tosca. Sebuah kipas kecil menggantung di atas yang memutar menimbulkan bebunyian. Kipas itu sebentar jalan sebentar berhenti. Jika kipas itu berhenti, si pemilik kamar membuka matanya.
Rindai mengucek matanya, "astaghfirullah. Jam 3, mampus."
Keringat menetes dari ujung pelipisnya. Rindai beranjak dari kamar. Lalu meraih knop pintu. Dia berjalan keluar menuju sebuah kamar yang berada di ujung. Dia ingin mengganggu tidur si pemilik kamar itu.
Rindai mengetuk pintu kamar Ijang dengan sopan, "Assalamu'alaikum. Jang, buka. Jang!"
Ijang tak kunjung membuka pintu walau dia sudah teriak kencang seperti menggunakan pengeras suara. Rindai merogoh saku baju piyamanya berusaha menelepon Ijang barangkali saja dengan seperti ini, Ijang akan membukakan pintu untuknya.
1 2 3
"Apa sih lo?" tanyanya.
Rindai tertawa sekaligus merasa kasihan dengan lelaki itu. Ijang muncul dengan membekap mulut yang menguap lebar plus mata yang masih merah. Sepertinya lelaki itu baru saja tidur. Maafin gue jang.
"Lo masih ada persediaan obat buat gue, Jang?" tanya Rindai dengan harap-harap cemas.
"Oh, kirain apaan," Ijang menggaruk kepalanya. Kemudian dia diam. Sepertinya dia sedang mengingat sesuatu, "kayaknya malam ini lo gak bakal tidur deh, Dai."
"It means, gak ada?"
"Pinter," ucap Ijang sambil memberinya gestur jempol.
Rindai menunduk lemas ketika berjalan meninggalkan kamar Ijang. Besok dia harus keliling dengan motornya mencari klien. Membayangkan dirinya dimarahi pengendara lain saat menyetir sambil ngantuk membuatnya bergidik ngeri. Rindai kembali ke kamar sambil mengucap terimakasih dan maaf kepada Ijang.
"Besok gue bawain, Dai!" teriak Ijang dari depan kamarnya.
Keesokan harinya, setelah siap dengan penampilan sebelum berangkat kerja, Rindai terlebih dulu mampir ke warung Bang Min. Rindai duduk di balai-balai sambil mengguncangkan kakinya naik turun.
Sepasang mata Rindai menangkap Bang Min sedang menuangkan air dari panci ke dalam termos. Kemudian Rindai memanggilnya, "Bang Min, kopi paling pahit satu ya!"
Seperti biasa, Bang Min langsung membuatkan pesanannya tanpa banyak tanya.
"Bang, Rindai bayarnya habis pulang kerja ya. Duitnya 100 ribu nih. Yakin deh masih pagi gini belum ada kembalian, benar kan?" bujuk Rindai agar dibolehkan ngutang.
Bang Min mengangguk seakan-akan ikhlas padahal dari wajahnya terlihat capek meladeni penghutang sepertinya.
Namun biar begitu dua tahun ngekos di Graha Biru, Bang Min memang manusia yang paling paham soal keuangannya. Karena walau wajahnya seperti tidak ikhlas dia sering mencarinya jika dia tidak membeli apapun di warungnya.
"Ngutang mulu lo Dai!"
Yudhis berjalan mendekat ke arahnya. Lelaki yang berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir itu tampak rapi dengan kaos pendek yang dilapisi dengan kemeja kotak-kotak. Di sampingnya tersampir tas cangklong berukuran kecil.
Tanpa Rindai duga, Yudhis berjalan ke arah Bang Min sambil menyerahkan sesuatu, "nih, Bang. Buat bayar kopi Mbak sales."
Rindai tercengung. Dia melirik Yudhis yang asyik melahap satu buah gorengan. Kemudian lelaki itu menyerahkan duit ke Bang Min lalu segera melenggang pergi meninggalkan dirinya. Sepertinya lelaki itu sedang buru-buru.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Turtle Meets A Dog
Literatura FemininaKlien adalah manusia paling random bagi seorang marketing officer radio seperti Rindai. Entah itu soal reaksi yang muncul, bagaimana bentuk wajahnya, dan di mana keberadaan seorang klien semuanya seperti alur cerita yang unpredictable. Mencari klien...