Galeri, Antropologi, dan Bioskop.

3.9K 558 30
                                    

Di dalam kamar setelah dia melaksanakan sholat shubuh, Rindai merengkuh lututnya. Sambil menaruh kepalanya di atas lutut, matanya menatap nyalang ke suatu benda yang ada di depannya. Rindai cepat-cepat menggelengkan kepala. Meski dia mempunyai gangguan mental, dia masih punya pikiran yang waras. Meski dia sering over thinking terhadap sesuatu, Rindai masih mempunyai kendali penuh terhadap otak, perasaan, dan tubuhnya.

Rindai segera membuka matanya saat ada bunyi berdering dari ponselnya. Dia langsung mengangkat telepon yang masuk tersebut.

"Assalamualaikum. Halo, Rindai. Katanya lo mau ketemu sama gue?"

Bola mata Rindai nyaris keluar dari matanya saat dia melirik jam dinding. Sekarang sudah pukul 10 pagi. Tetapi dia masih bergelung dengan mukenahnya. Dia baru sadar bahwa tadi dia sudah lama tertidur sambil duduk dengan menekuk lutut di atas sajadahnya.

"Rindai?" panggil Erkan.

Rindai langsung menyahut, "iya, Kan. Emang lo bisa kalau gue minta ketemu?"

"Of course, Rindai. Gue masih di ZTV sekarang. Bentar lagi ke galeri. Kalau kita ketemu di galeri foto gue aja gimana?"

Rindai menangguk, "oke. Kita ketemu di sana."

Setelah panggilan itu dimatikan, Rindai merasa sedikit lebih lega. Pasalnya tadi malam dia menghubungi Erkan lewat chat Whatsapp tetapi lelaki itu hanya membaca saja tanpa membalasnya.

Rindai segera membuka mukenahnya. Dia berjalan ke sana ke mari untuk merapikan penampilannya sebelum pergi keluar. Dia juga harus menyamarkan lingkaran hitam di bawah matanya dengan polesan make up yang semoga saja itu tidak berlebihan.

Ketika sedang mengunci pintu kamar sebelum Rindai pergi, dia melihat Yudhis duduk di depan kamarnya sendiri. Rindai tersenyum tipis kepada Yudhis. Tetapi lelaki itu malah cuek saja dan langsung mengalihkan tatapannya.

Rindai tidak mau terlalu memikirkan. Mungkin saja lelaki itu masih marah padanya. Rindai melanjutkan langkah menuruni tangga menuju garasi untuk menjalankan motornya.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, Rindai menghentikan motornya di parkiran galeri Erakan yang diberi nama 'Fotoshthetic'. Ketika masuk ke dalam gedung, Rindai masih terperangah. Dia sudah cukup lama tidak main ke sana. Ada beberapa perubahan yang membuat Rindai akhirnya merasa 'pangling' dengan galeri Erkan.

Ada banyak foto-foto baru yang membuat Rindai terpesona. Tidak hanya foto berjenis human interest, ada juga jenis-jenis foto lain. Seperti sebuah foto dengan bingkai besar berbentuk persegi di depannya. Foto itu seperti lukisan beraliran surealisme. Karena ada unsur nyeleneh saat melihatnya. Tapi itu bukanlah lukisan, itu tetaplah foto yang kemudian oleh Erkan dipadukan dengan sebuah lukisan 3 dimensi. Rindai menggelengkan kepalanya berkali-kali memandangi keindahan foto itu.

"Gimana? Udah puas lihatnya?" Erkan menunjuk bibirnya. "Itu awas ngeces!"

Rindai terkesiap. Buru-buru dia mengusap bibirnya takut jika yang dikatakan Erkan itu benar. Kemudian Rindai langsung tersenyum menatap lelaki yang ada di sampingnya itu. Erkan tampak kasual sekali. Hanya menggunakan kemeja lengan pendek dan celana jeans. Seolah lewat penampilannya yang sederhana dia tidak menonjolkan bahwa dia lah si pemilik galeri ini.

"Gue agak kaget waktu lo pengin ketemuan sama gue, Rindai. Tumbenan banget. Ada apa sih?" tanyanya dengan wajah kepo.

Rindai tidak langsung menjawab. Dia melihat ke sekeliling. Banyak orang yang berlalu lalang di sekitarnya, "gak cari tempat yang nyaman buat kita ngobrol dulu gitu, Kan?"

"Kayaknya ini bakal jadi obrolan yang serius ya?" Erkan menaikkan alisnya sebelah. "Yaudah ikut gue ke sana, Rindai."

Erkan berjalan di depan Rindai. Rindai mengikuti langkah Erkan yang membawanya menuju ke sebuah tempat. Bisa dibilang tempat itu merupakan sebuah kafe kecil yang terletak di samping galeri. Namun bangunan kafe itu terpisah dengan bangunan galeri. Walau begitu, kafe itu masih tetap milik Erkan karena berada di dalam kawasan yang sama.

A Turtle Meets A DogTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang